“Orang harus siap, bahwa hidup ini tidak sama dengan yang kamu inginkan, tidak sama dengan apa yang kamu pikirkan, bahkan hidup ini bisa saja berlaku sebagaimana yang kamu benci.”
(Emha Ainun Najib).
Gambar: Kompas.Com
Kalimat di atas bukanlah narasi melainkan dalil yang secara sederhana menggambarkan batas kedaulatan manusia, wujud batas kedaulatan seorang ‘hamba’ yang menghamba pada pemilik kedaulatan hamba itu sendiri, pemilik kedaulatan hamba yang bersifat abadi dan absolut.
Untuk sebuah refleksi, bahwa hampir semua kerusakan di muka bumi ini berawal dari hilangnya rumusan kesadaran hakikat daulat kehambaan, kita sering tidak bisa membedakan lagi batas kehambaan (manusia) dengan pemilik hamba (Allah). Padahal, akibat kesalahan perumusan hubungan kepatuhan hamba atas pemilik hukum penghambaan dapat menimbulkan hancurnya sendi nilai moralitas berketuhanan dan perikemanusiaan. Lebih tragis lagi, kemudian berkembang menjelma dalam ‘ego’ personalitas diri kita sendiri, ke-aku-an, yang seakan menjadi penentu kedaulatan atas hamba yang lain.
Kekuasaan absolut Allah kemudian kita bajak, kebenaran agama kita kapling, kita batasi sendiri komunalitas penghuni surga dan neraka, minna–minkum, nilai kebaikan dan kebenaran kita jadikan komoditas pasar malam, transaksional, “maju tak gentar membela yang bayar.” Padahal, hakikatnya kita tidak memiliki piranti otoritas hukum apa pun untuk mengklaim kekuasaan itu, truth claim. Akhirnya, tanpa disadari kita punya andil menciptakan tuhan semu, dan kita juga mengasosiasikan kesucian dan kemuliaan nabi maupun rasul pada diri kita sendiri.
Ada upaya memanipulasi kebenaran melalui proses kerangka berpikir ideologis dengan menyelundupkan makna hakikat tuhan dan agama.
Maka sejarah akan beranjak mengulang terus-menerus dalam menciptakan kembali tragedi kebudayaan yang pada akhirnya akan meruntuhkan bangunan tata nilai moralitas peradaban manusia.
Mat Ray
Penjelajah Sastra Spiritual Prophetik