Oleh: Peter F. Gontha
Mengapa Singapura, Malaysia, dan Thailand—tetangga kita, yang katanya sejajar—terus melaju ke depan, sementara kita hanya duduk, menonton, dan bertepuk tangan dari pinggir lapangan?
Selalu kalah
Mengapa setiap konser global besar, pengobatan medis kelas dunia, ajang olahraga internasional, atau fasilitas berkelas selalu ada di sana, tapi tidak pernah di sini?
Ketika Coldplay tampil tujuh malam di Singapura, puluhan ribu orang Indonesia terbang ke sana. Ketika Formula One melaju di Marina Bay, kita bersorak—bukan dari Jakarta atau Sentul—tapi dari tribun di Singapura. Ketika Taylor Swift, ikon musik paling berpengaruh saat ini, menggelar konser berturut-turut yang selalu penuh di Singapura, para Swifties Indonesia berebut tiket, memenuhi pesawat, dan membanjiri hotel-hotel.
Uang kita, rakyat kita, antusiasme kita—semuanya mengalir ke luar. Tidak pernah ke dalam.
Ketika yang membikin even Formula E, justru banyak yang membabi buta menggergaji kegiatan tersebut!
Bahkan, untuk pemeriksaan kesehatan rutin saja, kita pergi ke Penang atau Bangkok. Pengobatan kanker? Ke Gleneagles atau Bumrungrad. Operasi kosmetik? Ke Kuala Lumpur atau Phuket. Mengapa bukan di Jakarta? Mengapa bukan di Surabaya atau Bali?
Mari kita tarik lebih jauh. Singapura punya kasino. Malaysia, negara dengan mayoritas Muslim, punya kasino legal di Genting Highlands. Sementara kita berpura-pura seolah perjudian tidak ada di sini. Padahal, judi online berkembang pesat di depan mata.
Baca Juga: Prof Uril Bahrudin Dinilai Layak Perkuat Kerjasama UIN Maliki dengan Saudi Fund for Development
Selalu kalah
Di Bali, banyak tempat perjudian tersembunyi yang dilindungi oleh “kekuatan lokal,” tapi kita terus mempertahankan wajah moral seolah-olah suci, sementara kita kehilangan miliaran dolar devisa. Semua itu hilang—terbang bersama rakyat kita dan uang mereka.
Jadi, kembali ke pertanyaan awal: mengapa kita kalah? Mengapa kita selalu hampir, tapi tak pernah sampai? Jawabannya bukan misteri. Bahkan tidak rumit. Kita tidak serius!
Birokrasi kita adalah labirin perizinan yang dipenuhi inefisiensi, rente, dan ketidakpastian. Pemimpin kita reaktif, bukan proaktif. Kita terlalu sibuk bermain sandiwara moral sampai lupa pada realitas ekonomi.
Selalu kalah
Pemerintah hanya mendukung proyek-proyek visioner jika ada keuntungan politik. Investor diperlakukan dengan curiga, bukan dengan sambutan. Aturan berubah di tengah jalan. Kemitraan mati dalam rapat-rapat tanpa akhir. Inisiatif publik-swasta tenggelam dalam tumpukan administrasi.
Dan yang paling parah: kita takut perubahan. Kita melindungi sistem usang. Kita terobsesi pada kontrol. Kita takut kehilangan muka. Kita politisasi segalanya—dari hiburan, kesehatan, sampai infrastruktur. Sementara kawasan lain bermain untuk menang.
Singapura hanyalah pulau kecil tanpa sumber daya alam. Malaysia punya keragaman budaya, etnis, dan agama yang sama kompleksnya dengan kita. Thailand lebih sering kudeta daripada pemilu. Tapi mereka berhasil melakukan hal-hal yang masih kita anggap mimpi. Kita sebaliknya, seperti raksasa tidur yang menolak untuk bangun.
Kita punya talenta. Kita punya kekayaan alam. Kita punya skala. Tapi kita tidak punya visi yang jelas. Kita tidak melayani rakyat. Kita hanya mengelola, tapi tidak memimpin. Kita patuh pada aturan—tanpa pernah bertanya apakah aturan itu dibuat untuk kemajuan atau justru untuk kebuntuan.
Jika kita ingin berhenti kalah, saatnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan menyakitkan. Saatnya bersikap jujur secara brutal.
Apa sebenarnya prioritas kita? Mengapa kita takut pada keterbukaan? Kapan kita berhenti takut untuk menang?
Kalau ini tidak kita benahi sekarang, kita bukan hanya akan terus kehilangan event-event besar. Kita akan kehilangan rakyat kita. Masa depan kita. Dan tempat kita di dunia.
Selalu kalah
mantan Duta Besar RI untuk Polandia, pengusaha, musisi, dan pemerhati sosial-ekonomi
Pingback: Heboh ! BEM KM UGM Nyatakan Mosi Tidak Percaya Kepada Rektor Ova Emilia Swa News