Yogyakarta, Swa News – Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM KM UGM) secara terbuka menyatakan mosi tidak percaya terhadap Rektor UGM, Ova Emilia.
Sikap tersebut disampaikan oleh Ketua BEM KM UGM, Tiyo Ardianto, melalui surat pernyataan resmi tertanggal 23 Mei 2025. Namun, surat itu baru beredar luas pada Sabtu (25/5).
“Terpilihnya pelanggar HAM, Prabowo Subianto, sebagai Presiden Republik Indonesia, serta nepo-baby Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden—yang naik dengan mengubah konstitusi atas bantuan Raja Jawa Jokowi—menjadi bukti kuat betapa berkuasanya rezim yang didukung oleh UGM,” tulis BEM dalam surat yang beredar.
BEM KM UGM juga mengkritik sejumlah kebijakan pemerintahan Prabowo yang dinilai tidak memiliki dasar argumentatif yang jelas.
“Segala kebijakan diberlakukan tanpa konsiderasi yang matang, seperti program Makan Bergizi Gratis, Inpres mengenai efisiensi anggaran, dan proyek Danantara,” lanjut pernyataan tersebut.
Baca juga: Mengapa Kita Selalu Kalah? “Sebuah Esai untuk Membangun Indonesia Kembali”
Lebih lanjut, mereka menilai pemerintahan baru mengancam nilai-nilai reformasi dan menghidupkan kembali pendekatan otoritarianistik melalui militerisme.
“Prabowo menghendaki Revisi UU TNI sebagai langkah awal mengembalikan Dwi Fungsi TNI, mengubur cita-cita reformasi. Militerisme merangsek ke kampus dengan dalih penguatan nasionalisme,” tulis mereka.
BEM UGM juga menyoroti tindakan represif aparat terhadap mahasiswa yang menyuarakan kritik.
“Mahasiswa yang menyampaikan ekspresi kritis justru mendapat represi dan bahkan ditetapkan sebagai tersangka,” tulis mereka lagi.
Dalam siaran pers yang sama, Ketua BEM KM UGM memperingatkan kondisi demokrasi saat ini. “Demokrasi dalam bahaya!” tegas Tiyo.
Namun, desakan BEM agar Rektor UGM turut menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah tak mendapat respons. Sebagai bentuk protes, mahasiswa UGM menggelar aksi kemah di Balairung UGM.
Mahasiswa menuntut Rektor UGM menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga negara yang dianggap mengeluarkan kebijakan semena-mena sebagai bentuk keberpihakan pada rakyat.
“Betapa malu kami sebagai mahasiswa kampus kerakyatan menyaksikan rektor yang lembek menghadapi berbagai ketidakadilan dan penindasan yang terang-benderang,” ujar Tiyo.
“Kami tidak akan mencabut mosi ini sampai rektor menyatakan mosi tidak percaya sebagai bukti keberpihakan kepada rakyat atau menyatakan sesuatu yang setara dengannya,” pungkasnya. (Mus)