
Jakarta, Swa News – Korupsi DPR RI kembali mencuat setelah KPK menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana rumah jabatan DPR RI.
Salah satu yang dijerat adalah Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar. Pihak KPK menyebut bahwa para tersangka belum dilakukan penahanan lantaran pihaknya masih menunggu perhitungan kerugian keuangan negara.
Sebelumnya, Indra Iskandar sudah diketahui berstatus tersangka, tetapi kemudian yang bersangkutan mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kemudian, Indra justru mencabut gugatan praperadilannya. Pencabutan praperadilan tersebut dibacakan Hakim Tunggal Ahmad Samuar dalam persidangan yang digelar Senin (27/5/2024) lalu.
Setelah pencabutan praperadilan perkara penetapan tersangka korupsi atas nama pemohon Indra Iskandar, hingga kini KPK belum membeberkan konstruksi kasus rasuah tersebut.
Namun, kasus ini diduga terkait mark-up proyek pengadaan sarana prasarana rumah jabatan anggota DPR yang menimbulkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Baca juga: Setelah Erick Thohir Bertemu Kejagung, Jaksa Agung: Pertamax Sudah Bagus?
Korupsi DPR RI
Terkait kasus ini, penyidik KPK juga sempat melakukan penggeledahan di kantor Sekretariat Jenderal DPR, termasuk ruangan Indra Iskandar. Sejumlah barang bukti ikut disita, mulai dari dokumen transaksi, tas berisi uang, hingga sepeda.
Maraknya pembongkaran kasus korupsi akhir-akhir ini mengingatkan pada situasi menjelang tumbangnya kekuasaan Orde Baru, di mana berbagai sindiran muncul melalui syair lagu, puisi, hingga panggung teater. Saat ini, nada kritis publik juga semakin berkembang melalui karya para seniman dan kritikus.
Setidaknya, ada gejala kesadaran dan keberanian yang diwakili anak-anak musik aliran post-punk Sukatani. Kelompok ini telah banyak melahirkan karya kritis terhadap mentalitas kekuasaan yang koruptif.
Jika dilihat dari realitas yang ada saat ini, perumpamaan kritis para musisi era Orde Baru masih relevan dengan kondisi negara saat ini. Hal ini mengingatkan kita pada lagu yang sangat populer kala itu dan banyak dinyanyikan para aktivis: Perahu Retak karya mendiang Franky Sahilatua.
Baca juga: Presiden Prabowo Menggulung Karpet Merah Mafia Migas Atau Ganti Mafia?
Korupsi DPR RI
Penyanyi balada dari Timur ini mengumpamakan realitas politik era Orde Baru yang koruptif, anti-demokrasi, intimidatif, pelanggar hak asasi manusia, sentralistik, dan militeristik seperti perahu retak yang sedang oleng, sementara nakhoda sudah tidak memiliki tujuan dan arah yang jelas.
Bagi para pecundang, yang diinginkan hanyalah akumulasi kekuasaan sambil menunggu keruntuhan akibat perlawanan rakyat, yang hidup dalam keresahan, kecemasan, serta kemarahan. (Lam)