
Sastra, Swa News- Demam batu akik seolah menjadi siklus yang berulang. Setelah mencapai puncak popularitasnya sekitar tahun 2014-2015, minat masyarakat terhadap batu mulia ini sempat meredup.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tren ini kembali menguat dengan maraknya penjualan akik di berbagai platform media sosial.
Bulan lalu (November 2024) saya membaca majalah Intisari edisi April 2015 di toko buku dan perpustakaan “Bintang Kecil”, Lowokwaru, Kota Malang. Artikel utama majalah tersebut, “Hati-hati Investasi Batu Mulia”, memberikan gambaran menarik tentang fenomena sosial di balik melonjaknya harga batu mulia.
Editor in chief majalah tersebut, Yoyok Prima Maulana, mengaitkan fenomena ini dengan tingginya biaya pendidikan yang menjadi beban bagi banyak orang. Dalam pengantar “Gilanya Harga Pendidikan dan Batu Mulia”, ia membuka sedikit fakta tentang biaya pendidikan yang naik 15-20% tiap tahunnya, jauh di atas inflasi yang ada di kisaran 6-8% (2015).
Baca juga:
Srehbungareh-Midway: Ketika Budaya FOMO Berdiri di Persimpangan Tasawuf
Namun untuk konteks pendidikan tidak akan saya ulas di sini. Selanjutnya, Yoyok Prima mencatat, banyak orang mencari alternatif investasi selain reksadana atau properti, termasuk di antaranya adalah investasi batu mulia.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa nilai investasi batu mulia sangat fluktuatif dan tidak stabil seperti instrumen investasi lainnya. Meskipun harga akik sempat melonjak tinggi pada masanya, namun setelah pasar mereda, nilai jualnya pun ikut anjlok, dan hal itu terbukti hingga hari ini.
Menjelang penghujung tahun 2024, saya kembali menyentuh koleksi akik dan batu mulia pemberian para sahabat (pengrajin, pedagang dan kolektor akik). Dunia ‘perbatuan’, dengan segala keindahan dan misterinya, tak pelak membawa saya pada perbandingan yang menarik dengan hiruk pikuk dunia politik.
Mite Sisifus karya Albert Camus seakan menjadi metafora pas untuk menggambarkan dunia politik kontemporer. Jika dalam mitologi Yunani Sisifus dihukum menggelindingkan batu ke atas bukit yang tak pernah berakhir, maka para politisi seringkali terperangkap dalam pusaran kekuasaan yang tak kunjung reda.
Ironisnya, politik yang seharusnya menjadi ruang bagi zoon politicon sebagaimana didefinisikan Aristoteles, justru seringkali menyimpang menjadi arena manipulasi dan intrik.

Dunia akik, dengan segala keindahan alamnya, seakan menjadi cerminan dari kesederhanaan dan keotentikan yang kontras dengan kompleksitas dan kerapuhan dunia politik.
One thought on “Demam Akik, Batu Sisifus dan Politik”