
Perjalanan politik Ridwan Kamil masuk Jakarta memang penuh dengan liku. Ada tarik menarik kepentingan politik Golkar dan Gerindra.
Bermula dari manuver Ridwan Kamil masuk Golkar, sebelumnya non partai, memantik keriuhan baru. Padahal kalau kita telusuri Ridwan Kamil punya kedekatan dengan Nasdem.
Karena majunya Ridwan Kamil dalam Pilkada Jawa Barat merupakan inisiasi politik Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh. Konon ada dukungan logistik yang besar.
Tapi sebaliknya, setelah Ridwan Kamil menjadi gubernur, malah bergabung dengan partai beringin, Golkar. Tentu pilihan Ridwan Kamil ini juga menggores kekecewaan Surya Paloh.
Tidak hanya itu. Masuknya Ridwan Kamil ke Partai Golkar juga membuat gesekan politik dengan Dedy Mulyadi. Ada motif persaingan politik. Lantas Dedy Mulyadi hengkang dari Partai Golkar kemudian masuk Partai Gerindra.
Menjelang Pilkada serentak 2024, Ridwan Kamil dan Golkar berharap bisa maju menjadi Calon Gubernur Jawa Barat melalui kendaraan politik Koalisi Indonesia Maju (KIM).

(Foto:antara)
Tapi terganjal keinginan Presiden Prabowo yang juga Ketua Umum Gerindra mengusung Dedy Mulyadi.
Padahal kala itu, menurut beberapa hasil riset keterpilihan Ridwan Kamil, calon petahana, masih unggul bila dibandingkan Dedy Mulyadi.
Tapi apa daya. Pimpinan KIM tidak kuasa menghadapi kemauan Prabowo, sang presiden, termasuk Golkar sendiri. Meski Golkar punya kepentingan mempertahankan kadernya, Ridwan Kamil, yang diyakini akan menang lagi.
Apakah ada transaksi antara Golkar dan Prabowo ketika menggeser Ridwan Kamil ke Jakarta?.
Banyak opini transaksi yang berlangsung dibalik keputusan KIM Plus mencalonkan Ridwan Kamil berpasangan dengan kader PKS, Suswono. Ada rumor transaksi support logistik, Juga ada transaksi jabatan.
Tapi yang pasti ada kepentingan politik Jokowi dan Prabowo melalui KIM Pus untuk menjegal Anies.
Karena ada keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, akhirnya PDIP mencalonkan Pramono Anung-Rano Karno.
Mereka menganggap pasangan Pramono-Rano lemah. Apalagi hasil riset ada selisih elektabilitas yang jauh dibawah Ridwan- Suswono.
Tapi perhitungan mereka meleset. Faktor dukungan Anies pada Pram-Rano pada injury time mengubah peta elektoral. Pram-Rano melaju meninggalkan para rivalnya, baik RK-Suswono maupun Dharma-Kun.
Pada ujungnya, melalui proses Pemilu, pasangan Pramono-Rano Karno menang satu putaran.
Sempat ada manuver gugatan ke MK, kemudian santer terdengar akan ada upaya penjegalan, tapi kenyataanya tidak ada hingga batas akhir pelaporan.
kenapa para pimpinan partai KIM menerima kekalahan? Mereka diam, legowo. Khusunya Golkar dan Gerindra.
Apakah sikap legowo para pimpinan partai pendukung itu menandai putusan yang realistis? Jangan-jangan selama ini mereka tidak serius mendukung RK-Suswono?
Karena sejak awal ada beberapa pimpinan partai pendukung yang adem-adem saja tanpa greget untuk memenangkan pasangan RK-Susno ini.
Paling kelihatan yang ambigu itu Pimpinan Partai Nasdem dan PKB. Ketika Ahmad Syahroni ditunjuk ketua tim penenangan menolak. Ada juga Jazilul Fawaid yang menafikan eksistensi keterpilihan RK-Suswono.
Akhirnya kita skeptis (ragu,red), jangan-jangan dukungan Jokowi dan Prabowo sendiri juga hanya formalistik. Karena bagi keduanya yang penting bisa menjegal Anies.
Kalau mengikuti argumentasi itu, berarti Ridwan Kamil Suswono dan PKS hanya tumbal politik KIM, Jokowi dan Prabowo. (SC)