H5N1 di 2025: Pandemi Baru, Produk Rekayasa, atau Alat Seleksi Peradaban?

Oleh: dr. Tifauzia Tyassuma (dr. Tifa)

Pandemi baru

Setelah COVID-19 mengguncang global, kini virus H5N1 mulai menunjukkan potensi yang jauh lebih berbahaya. Dengan CFR (Case Fatality Rate) yang jauh lebih tinggi, sudah ada laporan terjadi spillover dari unggas ke mamalia, sapi, babi, dan kucing rumahan, maka kemungkinan penularan antarmanusia (human-to-human infection) akan meningkat.

H5N1 di 2025: Pandemi Baru, Produk Rekayasa, atau Alat Seleksi Peradaban?

Pandemi baru

Pertanyaan besar muncul: Apakah ini sekadar pandemi alami, atau ada skenario besar yang sedang dimainkan?

H5N1 adalah virus flu burung yang pertama kali ditemukan pada unggas di akhir 1990-an. Kasus infeksi pada manusia jarang terjadi, tetapi tingkat kematiannya mencapai lebih dari 50%.

Hingga 2024, virus ini telah dilaporkan menginfeksi 77 manusia di Amerika Serikat, UK, dan Mongolia, dengan prediksi bahwa virus ini telah mengalami mutasi yang memungkinkan penyebaran lebih luas, memicu kekhawatiran di kalangan ilmuwan dan otoritas kesehatan global.

Baca juga: Erick Thohir dan Politik Bola

Pandemi baru

Laporan terbaru menunjukkan peningkatan infeksi pada mamalia, termasuk hewan ternak yang sering berinteraksi dengan manusia. Jika virus ini mengalami mutasi lebih lanjut dan mampu menular dari manusia ke manusia dengan mudah, maka kita akan menghadapi pandemi yang jauh lebih mematikan dibanding COVID-19.

Setiap pandemi selalu menyisakan pertanyaan: Apakah ini fenomena natural atau non-natural? Adakah kepentingan tersembunyi?

Beberapa indikator bisa digunakan untuk membedakannya:

Pertama, mutasi yang cepat dan tidak wajar (seperti yang terjadi pada COVID). Beberapa ilmuwan mencatat bahwa mutasi H5N1 saat ini terjadi lebih cepat dari perkiraan alami. Apakah ini hasil evolusi biasa atau ada tangan manusia di laboratorium yang ikut campur?

Kedua, adakah keuntungan bagi Global Power? Pandemi selalu menciptakan peluang bagi industri farmasi, kebijakan kontrol populasi, dan restrukturisasi ekonomi global. Kita sudah melihat bagaimana COVID-19 mengubah dunia secara drastis, dan H5N1 bisa menjadi skenario serupa atau bahkan memiliki skala lebih besar.

Ketiga, adanya rekayasa penurunan populasi dan seleksi peradaban? Teori seleksi peradaban menyatakan bahwa pandemi dari abad ke abad sepanjang sejarah peradaban manusia ternyata bisa menjadi alat untuk menyaring populasi manusia, baik secara biologis maupun sosial. Mereka yang memiliki akses ke teknologi medis, gaya hidup sehat, dan pemahaman strategi bertahan akan lebih siap menghadapi ancaman ini.

Maka, untuk memahami secara holistik keadaan tersebut, akan dibutuhkan pemahaman informasi yang benar—tidak sekadar hanya mengandalkan media mainstream dan pernyataan dari pihak otoritas, tetapi juga harus mampu mencari informasi dari berbagai sumber untuk memahami keadaan sebenarnya.

Lebih substantif lagi adalah kemampuan menjaga kemandirian. Karena sikap ketergantungan pada sistem global secara masif akan bisa menjadi kelemahan sistemik.

Pandemi baru


dr. Tifauzia Tyassuma

President Ahilma Institute, Medical Doctor, Scientist in Nutritional Neuroscience, Predictive Epidemiology

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *