Malang, Swa News – Sore itu, Prof Suhartono mengajak ngobrol jurnalis SwaNews, Herman Wahyudi. Udara dingin menyapa, mengingatkan suasana masa lalu Kota Malang yang dulu dikenal sejuk dan tenang. Meski kini hawa dan atmosfernya tak lagi sama, suasana hangat ditemani kopi dan pisang goreng menjadi pembuka perbincangan tentang masa lalu dan obsesinya ke depan.
Prof Suhartono mulai bercerita soal bagaimana ketertarikannya pada dunia informatika tumbuh. Saat kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, ia aktif dalam berbagai kajian dan diskusi. Salah satu yang membekas dalam pikirannya adalah sebuah buku karya Alvin Toffler berjudul Powershift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. Buku itu menjadi bahan diskusi hangat di kalangan mahasiswa saat itu.
Menurut Toffler, era 1990-an merupakan fase revolusi ketiga, yaitu information revolution. Sebuah babak baru yang ditandai dengan pergeseran kekuasaan dari otot dan modal ke pengetahuan. Toffler menyampaikan bahwa revolusi informasi ini akan membawa arus besar perubahan sosial.
“Jargon Toffler yang paling fenomenal waktu itu saya masih ingat banget,” kata Suhartono. “Siapa yang menguasai informasi, dialah yang akan menguasai dunia.”
“Dan buktinya sekarang jargon itu benar,” tambahnya. Ia menjelaskan bahwa arus informasi dan dunia informatika hari ini telah mengalir ke seluruh aspek kehidupan.
Salah satunya melalui produk digital yang nyaris merambah seluruh lini, mulai dari pendidikan, ekonomi, kesehatan, sampai gaya hidup. “Kita ini sekarang hidup dalam global village,” ujarnya, mengutip istilah yang dulu dianggap utopis.
Baca juga: Ini Kata Kandidat Rektor Seputar Pengembangan UIN Maliki Malang
“Tapi kenyataannya, selama ini kita masih jadi obyek, konsumen. Dan itu pun masuk mata rantai obyek konsumen paling bawah,” sambungnya, sambil tersenyum dan menyeruput kopi hangat.
Ketika Swa News menyinggung soal pencalonannya dalam pemilihan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof Suhartono menyampaikan bahwa kampus ini punya sumber daya melimpah untuk menjadi universitas yang mendunia. Namun menurutnya, jika dilihat dari perspektif information revolution, ada satu hal krusial yang masih kurang.
“Untuk kampus semegah ini, harusnya kita sudah punya informatics system yang berbasis high technology. Kita tidak bisa mengelola sumber daya besar ini dengan pendekatan konservatif. Itu nggak akan nyambung dengan kebutuhan akses global,” tegasnya.
Ia menyebutkan bahwa dunia akademik saat ini harus bertumpu pada pilar kekuatan yang meliputi profesionalitas, pengelolaan informasi, dan sistem informatika yang comprehensive.
“Kalau kita masih pakai pendekatan traditional management dan akses teknologi yang terbatas, rasanya sulit banget membawa kampus ini ke level kompetisi global,” lanjutnya.
Ia pun menekankan, UIN Malang seharusnya mulai memakai parameter nilai yang tinggi—bukan lagi memakai standar universitas Islam yang biasa-biasa saja.
Menutup obrolan sore itu, Prof Suhartono menegaskan bahwa masa depan universitas akan sangat ditentukan oleh siapa pemimpinnya.
“Harus orang yang bisa mengelola SDM dengan optimal, punya kapasitas, kapabilitas, pengalaman, imajinasi, progresivitas, dan yang paling penting: konsisten melakukan perubahan yang fundamental dan berkelanjutan.”(Her)
Prof Suhartono