
Jakarta, Swa News – Betul-betul menggemaskan. Bayangkan, Harvey Moeis koruptor 300 T yang terlibat dalam skandal mega korupsi mafia timah, hanya divonis 6,5 tahun penjara.
Skandal yang merugikan negara hingga 300 triliun ini menyoroti lemahnya hukuman bagi para koruptor di Indonesia. Harvey Moeis sebagai aktor utama dalam kasus korupsi 300 T seharusnya mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat, mengingat dampaknya yang luar biasa besar terhadap keuangan negara.
Bandingkan dengan beberapa kasus pencurian ternak yang melibatkan rakyat kecil, seperti kasus seorang pelajar yang mencuri sapi di Lombok Timur dan terancam hukuman 9 tahun (15/10/2024).
Situasi ini jelas berbeda dengan skandal korupsi yang dilakukan mantan Direktur Utama PT Jasamarga, Djoko Dwiyono, yang merugikan negara sebesar 510 miliar rupiah dalam proyek tol MBZ (30/7/2024). Namun, yang paling fantastis tetaplah skandal korupsi timah Harvey Moeis, yang hanya dihukum 6,5 tahun penjara.
Lagi-lagi hakim menggunakan alasan klasik, yakni terdakwa berperilaku sopan dan memiliki keluarga. Hal ini memancing banyak komentar dari netizen. “Memangnya para pencuri ternak itu tidak sopan di persidangan dan tidak punya keluarga?” sindir salah satu netizen.
Inilah fakta ironis dari penegakan hukum pemberantasan korupsi di negeri ini yang masih jauh dari kata adil.
Akibat hukuman ringan yang diterima Harvey Moeis koruptor 300 T , netizen ramai-ramai melontarkan kritik satire.
Ada yang menulis:
Paket Diskon Promo Nataru 2024/2025
- 300 T…………………. 6,5 tahun
- 159 T…………………. 3,25 tahun
- 75 T…………………… 1,25 tahun
Bahkan, ada yang membawa karton bertuliskan, “Kasih keluarga saya 271 triliun, maka saya siap dipenjara 6,5 tahun.”
Putusan hukum yang sangat ringan bagi Harvey Moeis koruptor 300 T , apalagi dibandingkan dengan kasus pencurian kecil di masyarakat, menuai keprihatinan Anies Baswedan. Menurutnya, hukuman ringan bagi koruptor ini sangat tidak rasional.
“Pekerjaan apa yang dalam tiga tahun bisa menghasilkan 20 miliar, 610 miliar, atau bahkan 300 triliun dalam waktu 6,5 tahun? Bisa jadi, korupsi akhirnya menjadi pilihan,” ujar Anies.
Kondisi ini juga membuat Mahfud MD geram. “Kalau alasan keringanan hukuman koruptor itu karena sopan dan punya keluarga, itu alasan yang dibuat-buat. Semua koruptor bisa tampil sopan, pakai jilbab, sarung, dan sebagainya. Semua pelaku kejahatan juga punya keluarga,” tegasnya.
Mahfud menambahkan, jika ingin memberikan keringanan hukuman, seharusnya diberikan kepada para pencuri ternak yang hidup dalam kemiskinan, bukan kepada koruptor. Perspektif keadilan inilah yang ditekankan oleh Mahfud dan Anies dalam menilai putusan hukum.
Anies pun menyoroti perbedaan mendasar dalam tindakan korupsi: ada yang dilakukan karena desakan kebutuhan, dan ada yang semata-mata karena keserakahan.
Oleh karena itu, hakim seharusnya membuat putusan yang adil berdasarkan nalar dan naluri yang sehat. Jika putusan dihasilkan dari proses yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan naluri keadilan, maka hasilnya pasti akan tidak adil. (sm)