Opini, SWA News– Siapa sih yang membuat Kebijakan PPN 12 persen? Penerapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen dilaksanakan awal 2025.

Pastinya, peraturan perundangan yang ada itu sekarang masih menjadi polemik, bahkan kemudian mendapat penolakan.

Masalah kenaikan PPN 12 persen yang menjadi salah satu alasan yang kemudian diklaim menjadi dasar hukum itu merupakan produk kebijakan masa Presiden Jokowi, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kebijakan PPN 12

Dalam aturan itu memang ada kerangka skenario kenaikan PPN secara bertahap: untuk tahun 2022 naik sebesar 11 persen, sedangkan untuk tahun 2025 naik menjadi 12 persen.

Kita tidak tahu asumsi dan dasar pemikiran lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2021 itu. Apakah berdasarkan imajinasi jika pada tahun 2025 akan ada pertumbuhan ekonomi 10 persen sehingga berani membuat estimasi kenaikan PPN 12 persen tersebut?

Atau mungkin saja ada alasan politik penguasa yang kala itu membuat skema utang berkala besar-besaran untuk menutupi defisit APBN?

Kalau memang benar ada imajinasi pertumbuhan ekonomi tahun 2025 sebesar 10 persen sehingga membuat estimasi kenaikan PPN 12 persen, kelihatannya itu hanya ilusi.

Karena menurut analisa Institute for Development of Economic and Finance (Indef), pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 diperkirakan akan stagnan pada angka 5,0 persen.

Maka, jika benar ada asumsi kenaikan PPN 2025 sebesar 12 persen itu berkorelasi dengan imajinasi pertumbuhan ekonomi 10 persen, maka perlu ada revisi terhadap undang-undang yang ada.

Karena jelas tidak realistis. Apalagi saat ini ada tren penurunan pendapatan masyarakat secara masif, khususnya kelas menengah.

Maka perlu ada kebijakan penundaan eksekusi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 itu. Perlu ada kebijakan ulang untuk mengatur strategi yang berkonsentrasi pada skenario peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Namun berbeda jika latar belakang penyusunan peraturan perundangan itu bukan berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi, melainkan melalui pendekatan politik. Maka bisa diyakini, pemerintah akan all out untuk mengeksekusi konstitusi tersebut.

Kebijakan PPN 12

Nampaknya memang basis penyusunan perundangan itu berlatar belakang politik. Kalau kita cermati sekarang, perdebatan pelaksanan kebijakan PPN 12 persen sudah memasuki wilayah perdebatan politik.

Ada serangan politisi Gerindra kepada PDI Perjuangan, yang dinilai ikut melegitimasi UU Nomor 7 Tahun 2021. Siapapun tahu pada masa keputusan politik lahirnya undang-undang tersebut, posisi politik PDI Perjuangan masih menjadi bagian dari rezim Jokowi.

Sekarang berbeda, PDI Perjuangan berseberangan dengan Jokowi, maka juga akan menafikan seluruh produk kebijakan yang pernah dibuat.

Selain itu, kalau kita cermati pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, alasan kenaikan PPN 12 persen memang sangat pragmatis.

Alasan pertama, menopang APBN yang menjadi salah satu sumber utama membiayai program pemerintah. Kedua, memperkecil penggunaan utang dalam menutupi defisit APBN. Ketiga, menjaga stabilitas ekonomi negara.

Kabar terbaru, konon katanya eksekusi kenaikan PPN 12 persen itu untuk membiayai program populis makan bergizi gratis. Kalau rumor itu benar tentu sangat ironis. Karena pemerintah tidak realistis, ambigu di tengah resistensi utang untuk menopang anggaran. Justru ujungnya rakyat jadi korban.

Problemnya, kenapa baru sekarang ada alasan memperkecil penggunaan utang untuk menutupi defisit anggaran? Bukankah selama ini ketika dalam kekuasaan rezim Jokowi selalu melegalisasi utang untuk menutupi defisit?

Argumentasi Airlangga Hartarto semakin memastikan ada skenario politis dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021. Skenario itu menyangkut strategi Jokowi untuk meninggalkan warisan utang.

Tidak cukup di situ, Jokowi juga mewariskan ‘pusaka’ perundangan yang bisa digunakan kapan saja untuk ‘merampok’ rakyat.

Akibatnya, rezim Prabowo yang sedang menghadapi proses transisi kekuasaan sudah dihadapkan pada dilema utang negara yang besar, kemudian ada beban defisit anggaran, akhirnya menggunakan ‘jurus mabuk’ melalui legasi perundangan yang sangat ampuh untuk melumpuhkan kedaulatan rakyat.

Situasi ini menggambarkan posisi politik Jokowi yang sudah menaburkan angin utang anggaran untuk menaikkan populismenya, tapi kemudian rakyat yang pernah mencintainya kala itu sekarang ikut menuai badai kebijakan perundangannya.

Akhirnya, sudah saatnya harus ada kesadaran publik untuk meminta pertanggungjawaban Jokowi melalui proses peradilan. Tidak saja hanya bisa menabur angin, tapi Jokowi juga harus kita paksa ikut menuai badai.(SC)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *