
Opini, Swa News– Siapa yang menyangka, Rudi Valinka buzzer kontroversial kini menduduki posisi penting dalam pemerintahan?
Rudi Valinka, yang lebih dikenal sebagai pemilik akun media sosial @kurawa, telah resmi diangkat sebagai Staf Khusus (Stafsus) Bidang Strategis Komunikasi di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) oleh Menteri Meutya Hafid. Sebuah langkah yang, tak diragukan lagi, sangat “strategis.”
Dengan latar belakang sebagai pendengung opini yang sering menuai kontroversi, keputusan ini rasanya mengirimkan pesan jelas: pemerintah tidak hanya mengakui peran buzzer dalam politik, tetapi juga memberikan mereka tempat di ruang pengambilan kebijakan.
Apakah ini tanda bahwa kita kini hidup di era di mana suara paling keras, bukan yang paling cerdas, yang menentukan arah komunikasi strategis?
Sebagai seorang yang dikenal karena keberaniannya menyuarakan opini kontroversial, Rudi Valinka memang memiliki pengalaman panjang dalam mengolah narasi di media sosial. Tetapi apakah pengalaman sebagai “narator” digital cukup untuk memimpin strategi komunikasi pemerintah?
Pengangkatan ini seperti mengatakan bahwa strategi komunikasi nasional tidak membutuhkan ahli komunikasi berpengalaman, peneliti, atau profesional lain yang memahami kompleksitas isu digital. Sebaliknya, cukup menjadi buzzer yang pandai membuat opini viral dan membangun polarisasi untuk mendapatkan jabatan strategis.
Apakah ini langkah maju untuk kementerian? Ataukah sebuah sinyal bahwa siapa pun yang mampu membuat keributan di media sosial berpeluang mengamankan posisi penting?
Sebagai pemilik akun @kurawa, Rudi dikenal sering terlibat dalam diskusi dan debat panas di media sosial. Gayanya yang blak-blakan dan provokatif telah membuatnya menjadi tokoh yang dibicarakan, tetapi apakah itu cukup untuk menjadi pemimpin komunikasi strategis di tingkat nasional?
Keputusan ini mengundang pertanyaan mendasar: Apakah pemerintah mengutamakan rekam jejak profesional atau hanya sekadar popularitas di media sosial?
Kita tentu berharap bahwa komunikasi strategis sebuah kementerian tidak hanya bergantung pada strategi “viral,” tetapi juga pada pemahaman mendalam tentang cara menjangkau masyarakat luas dengan pesan yang jelas dan inklusif.
Rudi Valinka sebelumnya dikenal sebagai penulis buku A Man Called #Ahok, yang diadaptasi menjadi film. Namun, apakah pengalaman ini cukup untuk menjadi dasar keputusannya diangkat menjadi Staf Khusus?
Jika hanya menulis sebuah buku yang laris adalah syarat, maka seharusnya banyak penulis lain di Indonesia yang juga dipertimbangkan untuk posisi ini.
Mengandalkan latar belakang ini sebagai kredensial untuk sebuah jabatan strategis adalah seperti mengatakan bahwa seorang sutradara film horor pantas menjadi kepala keamanan negara karena mereka tahu bagaimana membuat orang takut.
Dengan pengangkatan ini, pemerintah tampaknya memberikan pesan yang keliru kepada masyarakat: bahwa latar belakang profesional bukan lagi hal utama dalam menentukan kelayakan seseorang untuk sebuah jabatan penting.
Bagaimana dengan akademisi yang telah bertahun-tahun mendalami komunikasi? Bagaimana dengan praktisi yang telah bekerja di lapangan untuk membangun komunikasi strategis bagi lembaga besar?
Mereka mungkin bertanya-tanya, apakah dedikasi dan kerja keras mereka kalah penting dibandingkan dengan kemampuan membuat cuitan yang kontroversial.
Pengangkatan ini juga memicu pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dihargai oleh pemerintah. Sebagai buzzer, Rudi Valinka dikenal menciptakan narasi yang sering kali memecah belah opini publik.
Jika seseorang dengan reputasi seperti ini diangkat menjadi Staf Khusus, apakah itu berarti polarisasi dan provokasi kini menjadi bagian dari strategi resmi pemerintah?
Jika benar, ini adalah sinyal yang mengkhawatirkan. Di tengah kebutuhan mendesak untuk menyatukan masyarakat yang terpecah oleh perbedaan pandangan politik, pengangkatan ini justru berisiko memperburuk masalah.
Keputusan untuk mengangkat Rudi Valinka ke posisi strategis memang dapat dilihat sebagai langkah berani. Namun, keberanian ini harus disertai dengan tanggung jawab besar.
Pemerintah harus membuktikan bahwa pilihan ini bukan sekadar gimmick, melainkan langkah yang benar-benar berdampak positif bagi masyarakat.
Baca juga:
Namun, jika ke depannya keputusan ini tidak menghasilkan perubahan yang signifikan dalam strategi komunikasi pemerintah, maka kita hanya akan melihat pengulangan dari pola lama: janji besar tanpa hasil nyata.
Pengangkatan Rudi Valinka sebagai Staf Khusus Kementerian Komdigi adalah momen yang penuh ironi. Di satu sisi, ini adalah pengakuan bahwa media sosial kini memainkan peran besar dalam komunikasi publik.
Namun, di sisi lain, ini juga menunjukkan bagaimana seseorang bisa menduduki jabatan penting bukan karena kompetensi mendalam, tetapi karena popularitas dan kemampuannya memengaruhi opini publik.
Keputusan ini harus menjadi pengingat bagi kita semua bahwa transparansi dan kompetensi tidak boleh diabaikan dalam pemerintahan. Karena jika tidak, siapa yang bisa menjamin bahwa jabatan penting berikutnya tidak akan diisi oleh selebgram atau YouTuber yang viral?
Rudi Valinka buzzer
Mukh. Munif
Kolumnis, Editor Swa News
One thought on “Kisah Inspiratif Rudi Valinka: Buzzer Menjadi Staf Khusus Kementerian Komdigi”