
Kritik Bukan Gonggongan: Kritik Merupakan Nyawa Demokrasi, Bukan Kebisingan yang Harus Dibenci
Oleh: Amril Nuryan
Kritik bukan gonggongan
Ketika presiden menganggap kritik sebagai “kebisingan” dan pengkritik sebagai “anjing yang menggonggong”, lalu kelompok 58% mendegradasi makna kritik itu disempitkan menjadi “gagal move on”.
Demokrasi sedang diracuni. Kami tidak meratapi kekalahan, kami menuntut akuntabilitas. Bukan soal menang atau kalah pilpres, tapi soal hak setiap warga negara untuk mengawasi kekuasaan.
Jika kemenangan 58% dianggap sebagai legitimasi mutlak, lalu dimana ruang bagi 42% rakyat yang memilih berbeda? Apakah hanya karena kami bagian dari 16% atau 24% yang tak sejalan dengan narasi mayoritas, kritik kami otomatis dianggap dendam politik?
Ini bukan tentang pilpres, ini tentang prinsip bahwa pemerintahan yang baik adalah yang berani diuji, bukan yang bersembunyi di balik jargon “Ndas-Mu” atau “Kau yang Gelap” untuk menghindari pertanyaan kritis.
Kalian boleh berkoar “kalah mengalah”, tapi dengar ini: kritik adalah napas demokrasi, bukan pengkhianatan. Jika pemimpin hebat, mengapa takut diuji? Jika 58% mandat suci, buktikan dengan melayani 100% rakyat, bukan membungkam minoritas. Kami, 16% atau 24%, bukan musuh, kami pengingat bahwa kekuasaan tanpa kritik adalah benih tirani dan bibit absolutisme.
Kritik terhadap kebijakan MBG, Gemuknya kabinet, Gas 3kg, Danantara, UU TNI, IHSG yang terjun bebas, kelakuan oknum-oknum polisi, perampasan kendaraan rakyat secara sewenang-wenang, deforestasi, dan lain-lain bukanlah “dendam politik”, itu adalah hak warga negara.
Tapi ketika pemerintah menjawabnya dengan “Ndas-Mu” atau “Anjing Menggonggong, kita maju terus “, yang ditunjukkan bukanlah kematangan berkuasa, melainkan ketakutan untuk diuji publik.
Baca juga: Ilfi Nurdiana Mulai ‘Gerilya’, Punya Jejaring Partai, Kans Kuat Menjadi Rektor UIN Maliki Malang?
Kritik bukan gonggongan
Menganggap kritik sebagai gonggongan (anjing) hanya menunjukkan kelemahan argumen. Kami tak perlu “move on” dari kritik, karena itu tugas konstitusi.
Yang harus “move on” adalah mereka yang terjebak dalam euforia kemenangan, tak sanggup mendengar. Demokrasi bukan soal mayoritas membungkam, tapi minoritas harus didengar.
Karena kredibilitas kepemimpinan dalam negara demokrasi adalah keniscayaan kemampuan membuktikan prestasi dan menjawab semua kritik dengan argumentasi dan gagasan, buksn dengan cara reaktif membungkam kritik.
Apalagi ada klaim mandatory rakyat melalui proses keterpilihan 58% yang menjadi kekuasaan untuk melayani keseluruhan rakyat yang ada. Maka harus mampu menanggalkan gap psikologis politik antara mayoritas dan minoritas.
Karena bagaimanapun proses demokrasi bukan sekedar ritual politik 5 tahunan untuk mengejar kemenangan. Tapi, juga merupakan ruang diskusi gagasan untuk memastikan kekuasaan tak menjadi tiran. Sesungguhnya kritik bukan anasir untuk menjatuhkan, tapi mengingatkan supaya tetap konsisten ditengsh jalan konstitusi dan tetap teguh dalam rute kepentingan publik.
Pada akhirnya, demokrasi membutuhkan keberanian, bukan sekedar menghadirkan mentalitas buzzer yang alergi akal sehat sambil joget “ok gas, ok gas”
Kritik bukan gonggongan
Film Producer