
Opini, Swa News– Lengkapnya Kunto Arief Wibowo. Sang jenderal merupakan putra Mantan Wakil Presiden era Orde Baru Jenderal (Purn) Try Soetrisno.
Kunto menjadi sosok jenderal kritis, pemberani dan teguh pada nilai etik keprajuritan dan kenegaraan. Mungkin tidak lazim ketika ada seorang prajurit militer berani mengkritik penguasa. Apalagi secara konstitusional sang penguasa merupakan panglima tertinggi.
Tapi itu yang pernah dilakukan seorang Kunto. Kala itu tahun 2023, ketika sang jenderal masih mengemban jabatan Panglima Daerah Militer Siliwangi Jawa Barat.
Siapapun tahu jabatan Panglima Daerah Militer Siliwangi merupakan posisi prestisius, strategis, dan potensial. Kalau dalam mitos sejarah militer era orde baru, pemegang tongkat komando Panglima Daerah Militer Siliwangi punya “golden ticket’ menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Kelihatannya Jenderal Kunto tidak mengambil posisi aman seperti itu. Tidak hanyut membiarkan kondisi amoral kekuasaan dan tunduk pada kemauan penguasa.
Justeru sebaliknya. Seakan Jenderal Kunto mencium bau busuk skenario politik Pemilu 2024. Kemudian Jenderal Kunto membuat kode keras memberi peringatan pada pihak penguasa yang memiliki keleluasaan memainkan kecurangan secara masif.
Baca juga:
Jenderal Kunto kemudian membuat kritik terbuka melalui media nasional (Kompas, 10 April 2023). Sebuah tulisan yang berisi keresahan, kritik dan harapan serta ancaman sikap tegas TNI.
Rupanya tulisan itu yang menjadi biang ketersinggungan dan ‘kemarahan’ Presiden Jokowi. Kemudian Jenderal Kunto menghadapi demosi, posisinya bergeser dari Pangdam Siliwangi menjadi Wakil Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat, Wadakodiklatad.
Ketika ada peralihan rezim penguasa dari Jokowi ke Prabowo, kelihatannya bintang Jenderal Kunto bersinar lagi, menuju bintang tiga, Letnan Jenderal. Kemudian Presiden Prabowo pada tanggal 6 Desember 2024 ini memberi posisi pada Kunto menjadi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan 1, Pangkogabwilhan 1.
Dalam kasus Jenderal Kunto bisa kita baca dalam perspektif pasang surut hubungan politik TNI dan kekuasaan. Kadangkala ada segmentasi kekuasaan yang berinisiatif menjebak institusi ini dalam politik praktis. Tapi juga kemudian terhalang oleh tembok doktrin militer yang sangat militan menjadi instrumen pertahanan negara.
Kelihatan sekali secara institusional TNI masih kokoh pada doktrin Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan delapan Wajin Tentara Nasional Indonesia.
Maka kehadiran sosok Jenderal Kunto yang berani mengevaluasi situasi politik kala itu, bukan sikap ‘disersi’ militer dan juga tidak bertentangan dengan doktrin loyalitas pada pimpinan.
Sebaliknya, justeru Jenderal Kunto berupaya keras menghalau situasi politik yang destruktif, memberi ‘alarm’ adanya pergerakan kondisi politik Pemilu curang yang sistematik. Kunto memberi ‘aba- aba’ jika ada kecurangan Pemilu yang sistemik maka TNI akan bertindak tegas menjaga kedaulatan hukum politik sipil.
Tapi pembacaan situasional politik Kunto menjelang Pemilu 2024, bikin Presiden Jokowi meriang, akhirnya Jenderal Kunto mengalami ‘pengasingan’ supaya kehilangan suara.
Pembungkaman itu berhasil, karena posisi Jenderal Kunto tidak lagi memiliki panggung mewah untuk menjelaskan ancaman situasi politik Pemilu dan penegasan ulang soal keberpihakan politik TNI dalam pemilu 2024.
Akhirnya, setelah rezim berganti pada kekuasaan Presiden Prabowo, sosok Jenderal Kunto menghiasi kembali peran bintang.
Apakah kembalinya Jenderal Kunto menjadi isyarat pergeseran politik pada tubuh TNI, sebuah kebijakan restrukturisasi Presiden Prabowo untuk kepentingan profesionalisme.?
Jangan- jangan upaya mengembalikan Jenderal Kunto itu bukan menjadi isyarat bagian kebijakan strategis Presiden Prabowo merestrukturisasi profesionalitas TNI, tapi karena memang Pemilu sudah selesai.
Tapi paling tidak, proses politik Pemilu kemarin memberi catatan positif pada TNI yang relatif independen dan mampu menjadi katalis ketika ada ketegangan dalam proses pemilihan.
Refleksi ini memberikan garis bawah pada sosok inspiratif Jenderal Kunto yang kalau diperluas perannya mampu merepresentasi sikap kemandirian TNI secara keseluruhan.
Jenderal Kunto tidak cukup hanya me dapat penganugerahan bintang tiga tapi juga sangat layak menerima bakti bintang empat, jenderal penuh.
Siapa tahu Jenderal Kunto juga akan ketiban pulung wahyu wakutoromo, mendapat posisi menjadi pemimpin besar memiliki berpengaruh luas yang kemudian menjelma menjadi personifikasi Satrio Paningit. (SC)