
Masalah hukum Harun Masiku maupun Hasto Kristianto itu bukan kriminalisasi, tapi bisa masuk ranah politisasi.
Kasus Harun Masiku sendiri bukan soal kerugian negara, tapi soal penyuapan. Meski begitu, sejak awal skandal Harun Masiku yang terjadi pada akhir tahun 2019 itu punya daya ledak politik yang tinggi.
Daya ledak politik itu karena dipicu soal relasi PDI Perjuangan dengan kekuasaan, yang bermula menjadi pengawal utama kekuasaan kemudian berakhir dalam posisi perlawanan.
Ada apa di balik eksistensi politik Harun Masiku sehingga memiliki makna strategis, setidaknya bagi Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristianto, dan Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri?
Padahal Harun Masiku bukanlah personal yang memiliki relasi dengan ‘klan’ Soekarno maupun ideologi Soekarnoisme dan Marhaenisme PDI Perjuangan.
Jika membaca relasi politik yang ada, kita patut bertanya soal letak prestasi politik Harun Masiku sehingga memiliki previlage yang sangat besar.
Ihwal skandal hukum Harun Masiku bermula ketika dirinya akan menjadi Pengganti Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan, dapil Sulawesi Selatan, yang saat itu akan menggantikan posisi adik Taufiq Kiemas, Nazarudin Kiemas, adik ipar Megawati Soekarnoputri.
Karena ada aksiden ketika menjelang proses pemilu, Nazarudin Kiemas meninggal dunia. Meski posisi sudah meninggal, tapi ternyata Nazarudin Kiemas masih memperoleh suara terbanyak.
Sesuai aturan yang berlaku, harus ada mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW). Aturannya, yang memiliki hak pengganti Nazarudin Kiemas itu pemilik suara terbanyak kedua, Riezky Aprillia.
Tapi ironisnya, PDI Perjuangan saat itu malah mendorong Harun Masiku menjadi PAW, padahal perolehan suaranya ada di posisi kelima.
Karena ada ‘pemaksaan’ untuk melawan mekanisme yang ada, kemudian timbul kecurigaan adanya sesuatu di balik agenda tersebut.
Baca juga:
Kemudian muncul banyak ‘bocoran’ soal adanya relasi transaksional antara proses PAW Harun Masiku dengan penyelesaian hukum surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terjadi tahun 2002.
Memang pada 10 Desember tahun 2002 itu Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan hukum pada debitur yang menyelesaikan kewajibannya membayar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Tapi rupanya dalam proses pelaksanaannya banyak manipulasi, ada unsur penyalahgunaan wewenang. Karena banyak debitur yang baru membayar uang muka, belum lunas, tapi sudah mendapatkan surat keterangan lunas itu. Nampaknya problem ini pula yang ikut menyandera Megawati.
Sehingga dalam konteks tahun politik 2019, memang PDI Perjuangan menghadapi dilema. Satu sisi harus menyelesaikan persoalan administratif PAW, pada sisi lain saat itu juga Mahkamah Agung membuka kembali proses hukum skandal BLBI.
Bahkan pada tahun itu pula, Mahkamah Agung menaikkan status hukum salah satu debitur, Syamsul Nursalim bersama istrinya, pemilik BDNI, menjadi tersangka dan dinyatakan buron.
Kelihatannya situasi krusial itu yang mempertemukan kepentingan PDI Perjuangan dengan Harun Masiku. Karena konon kabarnya, Harun Masiku itu punya relasi kerabat dengan Hatta Ali, salah seorang hakim agung yang juga pernah menjabat Ketua Mahkamah Agung RI.
Mungkin, bagi PDI Perjuangan situasi itu menjadi momentum untuk menyelesaikan secara sistematis penuntasan kasus hukum BLBI yang ikut ‘melibatkan’ Megawati, lantas mereka membutuhkan relasi orang dalam (ordal) di MA. Kemungkinan kemudian ada titik temu dan negosiasi antara Hasto Kristianto dengan Harun Masiku, yang berikutnya juga melibatkan anggota KPU, Wahyu Setiawan, untuk merumuskan skenario politik PAW tersebut.
Pada ujungnya, dalam tahun 2019 ada proses hukum BLBI yang saat itu telah menjerat eksekutor surat lunas BLBI, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafrudin A. Tumenggung, yang sedang kasasi di MA, tiba-tiba muncul keputusan onslag dan bebas pada yang bersangkutan.
Jika saat ini ada yang membuka kembali kotak pandora kasus hukum Harun Masiku, selain memang ada kronologi peristiwa hukum yang terjadi, di balik itu juga tidak lepas adanya agenda politik.
Bagaimanapun, mandeknya kasus Harun Masiku yang telah berlangsung sejak tahun 2020 hingga 2025 itu juga karena ada relasi politik, pengaruh kekuasaan, partai penguasa pengusung utama Presiden Jokowi kala itu.
Begitu pula saat ini ketika kasus itu muncul kembali juga tidak lepas dari pengaruh politik kekuasaan Jokowi yang saat ini masih mampu mengendalikan berbagai institusi penegak hukum.
Konfrontasi Hasto dan Megawati akhir-akhir ini terhadap Jokowi menjadi faktor utama yang ikut memicu politisasi hukum untuk menyandera keduanya.
Pemecatan PDI Perjuangan terhadap keluarga Jokowi semakin menegaskan posisi politik yang semakin berhadapan untuk saling menjatuhkan.
Menjelang Kongres PDI Perjuangan, gesekan antar faksi politik yang ada di dalamnya semakin mengeras, kemungkinan ada dua kutub faksi besar, Pro-Jokowi dan Pro-Megawati.
Jokowi akan tetap menggunakan pola politik lama yang kelihatannya masih efektif menjadi alat penyandera para elite PDI Perjuangan yang masih punya skandal hukum.
Bisa saja Jokowi berupaya menghancurkan eksistensi politik PDI Perjuangan yang memang selama ini sudah berlangsung sejak Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Ada juga opsi lain, Jokowi akan memainkan para proksinya untuk bisa menguasai panggung struktur politik PDI Perjuangan, yang itu akan membuka jalan bebas hambatan menyusun masa depan dinasti politiknya.
Jika skenario akhir itu yang digunakan, maka proses politik kongres yang akan datang menjadi panggung pembantaian elite partai ini yang dinilai berlawanan dengan dirinya.
Banyaknya sandera hukum yang melibatkan elite PDI Perjuangan itu akan menjadi pintu masuk Jokowi menguasai partai nasionalis ini.
Bisa saja Hasto akan menjadi tumbal terakhir politiknya, tapi berikutnya Jokowi juga akan memasung peran Megawati.
Bahkan jika Megawati sulit untuk ditaklukkan, maka akan ada babak lanjutan melalui politisasi hukum yang menyandera Megawati dalam kasus BLBI. (*)
Selamet Castur
Kolumnis, pemerhati sosial politik