
Agama Tulisan ini merupakan sekapur sirih Imam Ghozali dalam mengajarkan hikmah pengalaman seorang sufi As Subaly ketika memberikan pelajaran makna kecintaan abadi.
Pada suatu ketika, As Subaly menerima rombongan tamu. Saat itu, As Subaly bertanya pada para tamu tersebut, “Apa maksud tujuan kamu semua ke sini?” Para tamu itu lantas menjawab, “Karena kami adalah pengagum dan pecinta Anda.”
Mendengar jawaban itu, seketika As Subaly tertawa, kemudian melempari para tamu tersebut dengan batu. Tentu, para tamu itu lari semua menghindari lemparan batu tersebut.
Seketika itu, As Subaly menertawakan mereka sambil berkata, “Bagaimana mungkin kamu semua mendedikasikan diri menjadi pecinta dan pengagumku? Hanya karena ujian lemparan batu saja kamu sudah melarikan diri.”
Barangkali, jika peristiwa itu berlangsung saat ini, bisa saja As Subaly akan membuat pertanyaan, “Apakah kamu semua juga akan tetap mencintai dan mengagumi diriku jika kemudian dirayu dengan kenikmatan harta dan tahta?”
Membaca metafor As Subaly ini seakan kita ingin mengilustrasikan kesempitan cara pandang manusia yang sering memanipulasi pikirannya, yang tidak bisa lagi membedakan keniscayaan keyakinan transenden dengan puncak kepuasan imanen materialisme yang seakan menjadi pencapaian tertinggi spiritual.
Itu pasti berbeda. Karena prinsip keyakinan spiritual tidak pernah bergantung pada sudut ruang, waktu, dan personal. Sementara kecintaan berbasis materialisme itu akan berbatas pada ruang, waktu, dan kesenangan sesaat yang dibangun atas dasar persepsi semu.
Kita bisa beranalogi ketika minum kopi. Bukan cangkir yang kita pakai yang akan melambungkan sensasi aroma rasa kenikmatan—karena itu masalah ruang dan waktu—tapi yang melambungkan hakikat sensasi kenikmatan adalah rasa kopi itu sendiri, meskipun pada kenyataannya rasa kopi itu juga tentatif, bergantung pada formulasi dan rasa kebatinan siapa yang membikin.
Oleh karena itu, sensasi rasa sesungguhnya adalah konfirmasi pikiran kita pada kreasi ontologis Sang Pencipta kopi: para petani yang menginisiasi secara kreatif membudidayakan berbagai aneka ragam lokalitas cita rasa. Kemudian beragam rasa itu akan menentukan makna universalitas kopi yang bertebaran dalam alam raya Sang Maha Pencipta, rahmatan lil’alamin.
Pada bagian lain, ada problem revolusi industri. Persoalan utama revolusi pasar industri kopi terletak pada kepandaian para produsen kopi yang mengubah rasa keaslian kopi menjadi berbagai ragam rasa kontemporer, mengubah lokalitas rasa menjadi selera transnasional, dan sekaligus mengiring lidah para konsumen penikmat kopi sesuai dengan kepentingan pasar produsen.
Ternyata kehidupan beragama juga sudah mengalami proses revolusi pasar. Agama menjadi komoditas industrial, kehilangan rasa syariat dan estetika yang menyuguhkan keindahan. Agama kemudian mirip sajian kuliner yang akan beradaptasi dengan selera pasar, selera korporasi, selera rasa yang berkombinasi secara beragam di luar hakikat dan kuasa agama itu sendiri.
Pasar memang terkadang manipulatif, mengajak konsumen hidup di bawah alam sadar. Bahkan, para produsen agen fatwa agama terkadang ikut menghalalkan berbagai cara, tidak segan lagi menyuguhkan “formalin” dan sari rasa kimiawi, yang seakan menjadi keniscayaan dalam sajian penuh aromatik dan bergizi.
Padahal, semua toleransi itu secara perlahan juga akan ikut membunuh akal pikiran, budaya, dan peradaban agama dalam menjaga kelestarian, keselarasan sosial, serta keberlanjutan masa depan peradaban yang lebih unggul.
Kisah As Subaly ini seakan ingin menggambarkan ulang adanya sebuah perbandingan rumus alam dan hukum sejarah yang bertingkat secara vertikal, yang kemudian berhasil membuka kesadaran manusia akan eksistensi yang berbeda dan memiliki kesinambungan antara alam ‘lahut’, ‘malakut’, dan ‘nasut’.
La ilaha illa Allah Itulah hakikat pembelajaran As Subaly: menimbang kehampaan di balik siklus keabadian. Adakalanya kita harus berhenti sejenak melihat revolusi bumi yang secara elips selalu bekerja dalam sistem edar ilahiyah (sunatullah) untuk selalu mengelilingi matahari. Karena di balik proses peredaran bumi, ada transformasi sifat holistik ketika memaknai kesatuan cinta abadi, kesatuan sejarah, serta kesatuan Tuhan, ‘monism in unity of God‘.
Agama, Kopi dan Pasar
Selamet Castur
Kolumnis Swa News
One thought on “Agama, Kopi, dan Pasar”