
OPINI, Swa News- Tulisan ini merupakan refleksi ketokohan Tri Risma, Sang Legenda Srikandi Surabaya yang kharismanya tidak hilang dimakan zaman.
Dia semula berkarir menjadi Aparatur Sipil Negara Kota Surabaya. Karena dedikasi dan prestasinya kemudian pada tahun 2010 dia dipinang PDI Perjuangan untuk dicalonkan menjadi Walikota Surabaya. Lalu menang!
Bu Risma, itu lah panggilan akrabnya. Nama lengkapnya Tri Rismaharini. Dia memang pernah menjabat Walikota Surabaya dua periode. Periode pertama tahun 2010- 2015 dan periode kedua tahun 2016- 2020.
Dia memang sosok yang pantas menyandang anugerah gelar legenda Srikandi Surabaya. Dia seorang perempuan yang pernah menjadi walikota pertama menang melalui proses pemilihan langsung.
Pada periode kedua, dia bahkan meraih kemenangan mutlak dengan perolehan suara diatas 80 persen.Ketokohannya bukan karena prosentase kemenangan perolehan suara semata.
Tapi juga karena produktifitas kinerja yang mampu membawa perubahan besar dalam perencanaan tata kota yang kemudian mampu menginspirasi perjalanan sosial, budaya dan peradaban masyarakat.
Ibu Risma telah mampu merubah wajah Kota Surabaya, yang sebelumnya terkesan kumuh, amburadul, banyak lalu lalang masyarakat miskin kota, kemudian berubah menjadi kota hijau, green city, yang ramah lingkungan, menjadikan kota metropolitan yang memiliki akses luas dan lancar, serta mampu mengurai ketimpangan sosial melalui jalan kemanusiaan yang lebih adil dan bermartabat.
Maka wajar, karena berbagai ragam kerja kepemimpinan itu kemudian Bu Risma menuai apresiasi masyarakat, bahkan dunia internasional.
Tidak hanya sekali bahkan berkali- kali. Tercatat Bu Risma pernah mendapat penghargaan internasional menjadi walikota dan pemimpin perempuan terbaik dunia.
Bentuk penghargaan yang diterima tidak saja berasal dari NGO dan institusi profesional, tapi juga datang dari Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Ibu Risma juga pernah masuk menjadi salah satu 50 tokoh dunia yang berpengaruh, yang berjejer bersama tokoh dunia lain, seperti Mark Zuckerberg.
Bagi arek- arek Suroboyo, bukan itu saja yang mempertimbangkan Bu Risma menjadi legenda Srikandi. Tapi juga karena keberanian mengambil.keputusan untuk merubah wajah birokrasi yang bisa melayani rakyat, yang transparan dalam menciptakan zero corruption, dan berusaha membangun tata kehidupan sosial yang aman, nyaman, adil dan sejahtera.
Barangkali filosofi kepemimpinan merakyat itu pula yang memberanikan diri Bu Risma untuk menutup lokalisasi yang berada di jantung Kota Surabaya, Gang Dolly. Lokalisasi yang sudah melegenda dan terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Padahal kalau kita kalkulasi keberanian menutup Gang Dolly itu memiliki resiko besar, karena bukan sekedar menghentikan celah praktik prostitusi semata. Tapi juga berdampak membunuh mata rantai kehidupan sosial ekonomi sekitar.
Untuk menutup Gang Dolly, tentu Bu Risma juga menyadari pasti akan ada perlawanan sosial, khususnya dari masyarakat yang secara ekonomi sudah bergantung dengan lingkaran kehidupan Gang Dolly.
Tapi dengan strategi diplomasi tinggi, Bu Risma tetap mengeksekusi keputusannya, kemudian berhasil.
Ketika itu Bu Risma menggunakaan alasan kemanusiaan, karena memang banyak transaksi human trafficking, juga karena berdasar pada dampak sosial akibat perusakan moral generasi baru yang lahir dan tumbuh berkembang dalam lingkungan tersebut.
Bagi rakyat Surabaya, sosok Bu Risma bukan hanya sekedar pekerja keras, pemberani, membela wong cilik, tapi juga sosok yang bersih, anti korupsi.
Soal kerja anti korupsi, Bu Risma sedikit dari sekian banyak pejabat dan aparatur negara yang pernah mendapat penghargaan Bung Hatta Anti Corruption.
Melihat sepak terjang kisah Bu Risma di Surabaya itu, maka wajar jika masyarakatnya masih menaruh harapan besar kepemimpinannya.
Potret itu bisa kita lihat hasil suara pemilihan gubernur kemarin. Memang menurut rekapitulasi KPU pemenang Pemilihan Gubernur Jawa Timur kemarin kemungkinan besar Pasangan Khofifah-Emil Dardak, karena telah memperoleh suara 58,81 persen, Risma-Gus Hans dengan 32,52 persen dan Luluk- Luqman 8, 72 persen.
Tapi suara Surabaya tetap untuk Bu Risma. Karena menurut KPU perolehan untuk suara Surabaya Bu Risma tetap unggul. Pasangan Risma-Gus Hans memperoleh 861.139 suara, Khofifah-Emil 329.551 suara dan Luluk-Luqman 34.071 suara.
Risma-Gus Hans secara signifikan mampu mengungguli Khofifah-Emil Dardak dengan selisih 531.583 suara.
Tidak mudah Risma bisa menaklukan Khofifah, selain calon gubernur petahana, khofifah juga merupakan warga ‘pribumi’ Surabaya.
Memang Khofifah memiliki modal sosial politik sangat besar untuk mendulang kemenangan.Tapi faktanya mayoritas masyarakat Surabaya telah memberikan suaranya pada Risma.
Jer besuki mawa beja, proses kemenangan perolehan suara Risma di Surabaya ikut menandai sejarah legitimasi politiknya menjadi legenda Srikandi Surabaya.(sc)