
[Selamat Ulang Tahun Gerindra, Selamat Atas Terpilihnya Kembali Prabowo Subianto Menjadi Ketua Umum, Semoga Sukses Membawa Kerja Politik Ideologis Progresif Revolusioner. Rakyat menunggu]
Hadiah ulang tahun Gerindra di hari ini ditandai dengan vonis Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah senilai 300 triliun rupiah.
Melalui banding di pengadilan tinggi, yang sebelumnya hanya divonis 6,5 tahun, sekarang berubah menjadi 20 tahun. Vonis ini sejalan dengan harapan Prabowo, yang kala itu sempat geram mendengar putusan hukuman ringan kasus tersebut.

Melalui putusan hakim pengadilan tinggi ini, upaya Prabowo memampuskan para koruptor menjadi titik balik dari era rezim sebelumnya yang memberi ruang para koruptor pesta pora.
Tentu saja Prabowo bukan mencampuri urusan yudikatif. Namun, dengan upaya Prabowo membongkar habis skandal korupsi di jajaran yudikatif, seperti kasus mafia peradilan, Zarof Ricar, yang menimbun penghasilan hampir satu triliun rupiah.
Kemudian skandal mafia peradilan itu yang membuat kemarahan Prabowo, dan secara psikologis membuat rasa takut para hakim yang ada.
Ketegasan Prabowo melawan korupsi telah membuka tabir praktik korupsi para pejabat negara yang korup, kemudian diikuti penangkapan Dirjen Anggaran Kemenkeu serta penggeledahan Kantor Dirjen Migas Kementerian ESDM.
Penegasan perlawanan masif pada korupsi juga menjadi topik utama dalam pidato Presiden Prabowo ketika menghadiri Harlah NU.
Bahkan secara praksis, Presiden Prabowo juga membuat kebijakan pemangkasan anggaran inefisiensi pemerintahan yang selama ini berlangsung.
Sufmi Dasco, Ketua Harian Partai Gerindra, yang saat ini juga menjabat Ketua MPR-RI, ketika memberi sambutan pada acara Sabang Merauke Circle (7/2/25), Dasco mempertegas kembali indikasi anggaran yang tidak rasional. Misal, anggaran ATK yang mencapai puluhan triliun rupiah.
Peran Gerindra
Keberhasilan seorang pemimpin besar yang sedang berkuasa itu akan sangat bergantung pada peran partai politik yang mendukung. Selain itu juga memiliki kekuatan militer yang profesional dan representatif. Saat ini konsolidasi militer berada dalam genggaman Prabowo. Namun, militer harus kembali dimanjakan sebagai kekuatan pertahanan, bukan pembangunan.
Praktik model kepemimpinan demikian pernah berlangsung pada era rezim Orde Baru. Ketika Soeharto bermula berkuasa pada tahun 1968, yang bersangkutan membangun Ormas Golkar yang berfungsi sebagai partai untuk menopang kekuasaannya. Nampaknya hal yang sama juga dilakukan Prabowo mendirikan dan memimpin Gerindra untuk menopang kekuasaannya.
Karena untuk bisa menerjemahkan cita-cita seorang pemimpin besar seperti Prabowo, hanya bisa diwujudkan melalui partai. Ketika Prabowo memimpikan suatu masyarakat ideal, seperti kemakmuran yang dibagi secara hampir merata kepada setiap rakyat, maka pesan ini harus menjadi ideologi partai. Begitu juga pengimplementasian ideologi itu, sehingga mampu menjadi agenda-agenda pembangunan yang berkeadilan.
Kelihatannya, setelah 17 tahun berdiri, Prabowo telah mempunyai partai yang besar. Meskipun dalam persentase kemenangan pemilu masih di bawah PDIP dan Golkar. Tapi, kepiawaian jajaran elite Gerindra, seperti Sufmi Dasco dan Ahmad Muzani, mampu mengendalikan koalisi partai pendukung Prabowo.
Selain itu, peran seorang Sufmi Dasco, Ketua Harian Gerindra, mampu memberi tafsir yang cepat dan tepat terhadap kerangka pemikiran dan konsep ideologi Prabowo Subianto, yang ini bisa dilihat pengaruhnya sepanjang 100 hari pemerintahannya.
Berangkat dari konteks tafsir pemikiran yang ada, Prabowo berhasil menunjukkan arah pembangunan yang ideologis, bukan lagi sekadar mau menjalankan perampokan sumber daya alam yang ada, mulai tambang, hutan, laut, tanah, air, seperti era lalu.
Mengukur nama besar Prabowo, yang saat ini menjadi pemimpin besar, eksistensinya lebih besar dari kapasitas partainya. Situasi ini juga tergambar ketika dulu Soeharto berkuasa.
Mengadopsi pola politik Soeharto, ke depan, Gerindra perlu merumuskan kembali upaya memperbesar kapasitasnya. Seperti mulai merekrut kaum aktivis kampus, kaum cendekiawan, eks militer secara masif. Itu juga yang dulu dilakukan Soeharto, merekrut semua aktivis mahasiswa, seperti Sarwono, Akbar Tandjung, Rahman Tolleng, David Napitupulu, Fahmi Idris, untuk memperkokoh barisan politik Golkar.
Mantan Aktivis Mahasiswa ITB, Pendiri Sabang Merauke Circle