
MBG dan IKN
Oleh: Hara Nirankara
Pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah seperti sebuah prolog dalam cerita rakyat, yang mana menggambarkan secara singkat tentang efek domino bagi mereka yang suka terhadap teka-teki. MBG, janji kampanye utama Prabowo, mulai diuji coba pada 2025 dengan anggaran awal puluhan triliun rupiah dan diproyeksikan mencapai Rp400 triliun per tahun saat program ini berjalan penuh.
Mbg dan ikn
Program MBG ini dibiayai sebagian dari realokasi anggaran yang dipangkas, termasuk pos promosi dan rapat. MBG pun menuai kritik keras dari banyak kalangan karena terdapat masalah serius seperti kendala logistik di daerah terpencil, kualitas gizi yang dipertanyakan, serta adanya potensi korupsi di dalam pengadaannya.
Pemerintah sendiri mengklaim bahwa MBG akan menciptakan multiplier effect melalui lapangan kerja di sektor pertanian dan UMKM, tetapi per April 2025, manfaat ini masih samar-samar terlihat, sementara dampak negatifnya sudah sering ditelanjangi.
Sementara IKN merupakan sebuah proyek ambisius dengan anggaran sebesar Rp 466 triliun hingga 2030, yang mana diharapkan mampu meningkatkan pemasukan negara melalui investasi serta perputaran uang yang beredar di dalamnya. Namun, IKN dikritik sebagai inisiatif eksklusif yang lebih menguntungkan investor besar ketimbang masyarakat luas. Pengalihan anggaran ke IKN, meskipun tidak secara langsung bersumber dari belanja K/L pada pos promosi media, justru semakin memperparah tekanan pada sektor lain karena APBN menjadi lebih ketat.
Narasi bahwa MBG dan IKN adalah investasi jangka panjang untuk SDM dan pertumbuhan ekonomi begitu terasa hampa ketika pekerja media dan perhotelan kehilangan mata pencaharian mereka hari ini, esok, atau seminggu lagi.
Efek Domino
Efek domino dari kebijakan pemangkasan anggaran ini tidak bisa kita abaikan begitu saja, karena ketika anggaran promosi dipangkas, media lokal akan kehilangan kontrak iklan, memaksa mereka mengurangi staf atau bahkan menutup layanan mereka.
Baca juga: Gonjang-Ganjing Makan Bergizi Gratis (MBG) di Sumenep Dihentikan, Ada Problem Apa?
Jurnalis dan pekerja kreatif, yang sebagian besar adalah kelas menengah, menghadapi penurunan daya beli, yang kemudian memengaruhi bisnis lokal seperti warung makan atau transportasi. Di sektor perhotelan, penurunan acara pemerintah menyebabkan PHK di antara pekerja hotel, katering, dan jasa pendukung.
UMKM yang bekerja sama dengan kedua industri ini (misalnya, penyedia konten atau makanan), juga akan ikut terpukul. Kelas menengah, yang menyumbang 56% PDB melalui konsumsi rumah tangga, menjadi korban utama, dengan rasio kredit bermasalah (NPL) naik ke angka 2,19% pada 2024 sebagai indikator tekanan finansial (Bank Indonesia, 2024).
Apakah efek domino ini akan semakin “liar” seperti prediksi saya? Mungkin tidak sampai pada tahap yang menyebabkan krisis ekonomi nasional, tetapi dampaknya cukup parah untuk mengguncang sektor tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan melambat ke sekitar 5% pada 2025, menunjukkan bahwa konsumsi domestik, yang bergantung pada kelas menengah, sedang tertekan (World Bank, 2025).
MBG, yang diharapkan bisa menjadi penyelamat, belum menunjukkan multiplier effect yang signifikan di tahap awal, sementara IKN tetap menjadi proyek jangka panjang dengan manfaat yang belum merata. Kebijakan pemangkasan anggaran untuk MBG dan IKN ini, alih-alih dapat menyeimbangkan fiskal dan pertumbuhan, justru menciptakan ketimpangan sosial yang baru akibat prioritas elit versus kelangsungan hidup pekerja di sektor jasa.
Menyeimbangkan Prioritas
Kebijakan pemangkasan anggaran tidak sepenuhnya salah, karena tekanan fiskal sendiri memang mengharuskan penghematan. Namun, pengalihan dana ke MBG dan IKN jika tanpa dibarengi dengan strategi mitigasi yang memadai untuk sektor terdampak merupakan sebuah kelalaian.
Maka dari itu, saran yang bisa ditawarkan untuk menghalau ancaman badai PHK akibat pemangkasan anggaran ini yaitu:
(1) Dukungan transisi untuk media dan perhotelan, di mana pemerintah dapat menyediakan insentif pajak atau subsidi sementara untuk media lokal dan hotel yang terpukul, sembari mendorong mereka beralih ke model bisnis yang lebih mandiri, seperti konten digital atau pariwisata swasta.
(2) Transparansi dan efisiensi MBG, yang mana MBG harus dikelola dengan transparansi tinggi untuk menghindari korupsi, dengan berfokus pada pemberdayaan UMKM lokal sebagai penyedia bahan pangan karena dapat mempercepat multiplier effect dan mengimbangi dampak negatif pada sektor lain.
(3) Inklusivitas IKN, di mana proyek IKN perlu melibatkan lebih banyak pelaku ekonomi lokal, bukan hanya investor besar, untuk memastikan manfaatnya bisa dirasakan secara luas dan tidak memperdalam persepsi eksklusivitas.
(4) Perlindungan kelas menengah, misalnya program pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja media dan perhotelan yang terancam PHK, di mana dapat membantu mereka beradaptasi dengan sektor baru, seperti teknologi atau pariwisata berbasis digital.
Kesimpulan
Kebijakan pemangkasan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah, dengan pengalihan dana ke MBG dan IKN, telah menciptakan efek domino yang merugikan industri media dan perhotelan, memicu ancaman PHK, dan melemahkan kelas menengah sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia. Meskipun MBG dan IKN dijanjikan sebagai investasi jangka panjang, manfaatnya masih samar hingga sekarang, sementara pekerja sektor jasa menanggung beban yang makin terasa berat sehari-harinya di tengah lemahnya ekonomi nasional.
Maka dari itu, mengorbankan mata pencaharian demi proyek besar tanpa mitigasi adalah resep yang lezat untuk ketimpangan. Namun, dengan langkah konstruktif seperti dukungan transisi dan transparansi, pemerintah masih bisa menyeimbangkan visi ambisiusnya dengan keadilan ekonomi.
Nah, yang jadi pertanyaannya, “Apakah kita akan terus memuja prioritas megah sekaligus mengabaikan jeritan pekerja yang kehilangan harapan?”
Penulis dan Konten Kreator