Palembang, Swa News – Kasus penganiayaan terhadap seorang dokter koas di Palembang memicu kemarahan publik setelah rekaman CCTV insiden tersebut tersebar luas.

Video itu memperlihatkan tindakan brutal sopir keluarga Lady Aurellia Pramesti, yang menyeret dan memukuli dokter koas hingga tersungkur. Kejadian ini menimbulkan pertanyaan terkait motif sebenarnya di balik tindakan kekerasan tersebut.

Kronologi Kejadian penganiayaan dokter koas

Dalam video yang viral, sopir keluarga Lady Aurellia terlihat menyeret dokter koas dari tempat duduknya secara paksa. Tidak hanya itu, ia juga memukul korban berulang kali.

Kekerasan ini baru berhenti setelah Sri Meilina, ibu Lady Aurellia, memisahkan keduanya.

CCTV penganiayaan dokter koas

Sebelumnya, pihak pengacara Lady Aurellia mengklaim bahwa insiden tersebut dipicu oleh kesalahpahaman terkait jadwal jaga dokter koas. Namun, rekaman CCTV menunjukkan aksi kekerasan yang tampaknya tidak beralasan dan jauh dari sekadar perselisihan kecil.

Publik Geram setelah terungkap fakta di CCTV 

Pihak kepolisian bergerak cepat dan menetapkan sopir keluarga tersebut sebagai tersangka. Ia dijerat dengan Pasal 351 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan berat, dengan ancaman pidana penjara hingga lima tahun.

Dalam keterangannya, tersangka mengaku melakukan penganiayaan secara spontan karena merasa kesal dengan perilaku korban yang dianggap tidak sopan.

Publik, yang sudah melihat video tersebut, mengecam tindakan brutal itu dan menuntut agar keadilan ditegakkan.

Banyak yang merasa bahwa penjelasan tersangka tidak sebanding dengan kekerasan yang dilakukan, apalagi korban tidak melakukan perlawanan.

Kasus ini tidak hanya mencoreng nama keluarga yang terlibat, tetapi juga memicu diskusi lebih luas tentang etika dan profesionalisme dalam hubungan kerja.

Banyak pihak menilai, tindakan kekerasan fisik dalam bentuk apa pun tidak dapat dibenarkan, terlebih dalam konteks profesional.

Sementara itu, nama Lady Aurellia Pramesti, yang disebut dalam laporan awal, turut menjadi sorotan. Meski ia tidak terlibat langsung, banyak yang mempertanyakan peran keluarga dalam insiden tersebut dan bagaimana pengelolaan hubungan dengan tenaga kerja di rumah mereka.

Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga profesionalisme dan etika dalam setiap interaksi, baik dalam lingkungan kerja maupun kehidupan sehari-hari.

Ketua Asosiasi Dokter Indonesia, Dr. Ahmad Yusran, mengungkapkan keprihatinannya atas insiden tersebut. “Dokter koas adalah tenaga kesehatan yang sedang menjalani masa pelatihan.

Mereka seharusnya mendapat perlindungan, bukan menjadi korban kekerasan, apalagi dalam situasi yang tidak terkait dengan tugas profesional mereka,” ujar Dr. Yusran.

Publik juga menyerukan agar proses hukum terhadap tersangka dilakukan secara transparan dan adil. Insiden ini menyoroti perlunya pengawasan lebih ketat terhadap kekerasan dalam rumah tangga maupun tempat kerja.

“Kasus ini adalah ujian bagi aparat penegak hukum untuk memberikan keadilan tanpa memandang latar belakang pelaku atau keluarga yang terlibat,” ujar seorang aktivis hak asasi manusia.

Dengan sorotan luas dari masyarakat, diharapkan kasus ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk menjaga etika dan menghormati hak sesama manusia.

Kekerasan, dalam bentuk apa pun, tidak dapat dibenarkan, dan setiap individu berhak mendapatkan keadilan.

Saat ini, dokter koas yang menjadi korban masih dalam pemulihan, baik fisik maupun psikologis. Proses hukum terhadap tersangka juga terus berjalan, dengan harapan keadilan dapat ditegakkan. (Mmu)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *