
Makin ke sini, istilah seputar anggaran makin njelimet. Tempo (13/2/2025) sampai perlu menjelaskan perbedaan antara “efisiensi,” “pemangkasan,” dan “rekonstruksi.” Padahal, belum lama pandemi berlalu, masih terngiang istilah: “refocusing” dan “realokasi.”
Jika kita tengok Inpres 1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025, ada istilah “membatasi belanja…,” “mengurangi belanja…,” “memfokuskan alokasi…,” “penyesuaian belanja…” Apa bedanya? Entahlah.
Harusnya efisiensi anggaran juga dibarengi efisiensi istilah. Sudahlah hidup rakyat susah, ditambah pening pula dengan segala macam jargon birokrasi yang mengklaim paling efisien itu.
Apa poin pentingnya? Justru mungkin malah terlewat.
Birokrasi hemat tentu penting. Saya juga muak, misalnya, melihat pejabat banyak gaya plesir sana-sini pakai anggaran perjadin (perjalanan dinas) APBN. Tapi getir juga hati melihat efisiensi justru berdampak pada berhentinya layanan bagi korban pelanggaran HAM.
Sementara itu, isi Kabinet Merah Putih: 48 menteri, 5 kepala badan, dan 56 wakil menteri! Belum staf-stafnya—staf khusus, staf ahli, penasihat ahli, pembantu staf…
Efisiensi di atas kertas ternyata tak cocok dengan kenyataan.
Padahal, hulu perkara adalah pucuk yang bengkak itu. Ia ibarat kuk yang membebani leher rakyat.
Kuk dalam bahasa Inggris: yoke. Dalam bahasa Ibrani: nir. Dalam bahasa Aramaik: ʿōl. Di bangsa-bangsa Timur, istilah itu kerap digunakan untuk menyebut pajak atau beban berat lain yang ditimpakan penguasa kepada rakyat. Ibarat kerbau yang bekerja keras membajak sawah dengan pemberat di atas lehernya.
Mimpi rakyat adalah lahirnya sosok pemimpin yang bisa mengangkat kuk itu dari leher mereka—yakni pemimpin yang hidupnya sederhana. Sebab, semakin sederhana kehidupan penguasa, semakin ringan beban rakyatnya.
Artinya, efisiensi dan pemangkasan dalam angka yang tidak dibarengi teladan hidup sederhana dari para penguasa, keluarga, dan kroninya adalah omong kosong. Penghematan semacam itu hanya akan menjadi penghematan semu yang memicu persoalan lain di kemudian hari.
Pejabat yang belagu dan tak bisa melepaskan gaya hidup mewahnya adalah pangkal masalah. Jika APBN dipangkas, untuk mempertahankan taraf hidupnya, pejabat (beserta keluarga, kroni, dan hulubalangnya) kemungkinan besar akan menjarah ke luar—yang ujung-ujungnya menyusahkan rakyat. Ibarat gajah yang tak lagi mendapat makan di hutan, ia akan turun ke kampung dan berantem dengan warga. Atau bayangkan singa lapar yang dilepas dari kebun binatang—teror bagi rakyat.
Gajah dan singa masih bisa dimaklumi karena bertindak atas naluri bertahan hidup. Tapi pejabat, keluarga, dan kroni yang meneror rakyat hanya karena naluri keserakahan? Itu yang sulit diterima.
Begitulah, kelak mungkin bakal marak cerita pungli-pungli yang makin edan.
Selain debat angka dan istilah penganggaran, saya belum melihat pucuk-pucuk yang bengkak memulai teladan hidup sederhana. Saya tahu beberapa orang yang dulu hidupnya biasa-biasa saja, tapi sejak masuk birokrasi (ada jabatan), gaya hidupnya berubah total. Dulu karaoke keluarga, kini karaoke eksekutif dengan dua sampai tiga LC pula. Dulu LCGC, kini BMW pun dia pilih-pilih tipenya… Ampun!
Tepatlah ledekan orang bahwa mengentaskan kemiskinan di negara ini harus dimulai dari mengentaskan kemiskinan pejabatnya.
Pucuk-pucuk yang bengkak itulah yang tetap makan, cuy! Dan pada akhirnya—meminjam kata Nex Carlos—rakyatlah yang bayar, bayar, bayar!
*Artikel ini juga telah diunggah pada akun Facebook Pribadi penulis
Penggiat Literasi Digital, Kritikus Media Sosial, Investigator.