Lukisan yos Suprapto

Opini, Swa News– Apa yang salah dengan karya lukisan Yos Suprapto? Kenapa kemudian negara ikut menghakimi dan membredel karya lukisan tersebut?

Anehnya lagi pihak yang menghakimi karya lukisan Yos Suprapto tidak hanya kurator, Suwarno Wisetrotomo, tapi juga Menteri Kebudayaan, Fadly Zon.

Mestinya kurator dan Kementerian Kebudayaan tidak memiliki otoritas menghakimi, khususnya Kementerian Kebudayaan, justeru seharusnya mampu mendorong kreatifitas dan produktifitas semua pekerja seni.

Lukisan yos Suprapto

Tapi ketika melihat kasus Yos Suprapto, sebaliknya, Menteri Kebudayaan malah bertindak menjadi hakim yang kemudian membuat batas norma pengharaman atas karya seni.

Ujungnya, karya seni yang dinilai mengkritik kekuasaan kemudian dinarasikan melalui berbagai ragam ujaran, misalnya vulgar, tidak senonoh, tendensius dan politis.

Padahal dalam perspektif karya seni, secara normatif pemerintah yang merepresentasikan eksistensi kekuasaan negara, juga tidak memiliki batasan yang baku soal katagori vulgarisme, tendensius dan politis.

Jika pada akhirnya pemerintah kemudian membuat batasan normatif yang bisa mengekang kreatifitas kehidupan dunia seni, justeru malah akan menjadi titik balik perlawanan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang menjadi ideologi seni.

Karena ketika negara membuat tata aturan yang ketat untuk membatasi kreatifitas seni, maka sama saja negara telah membunuh kemerdekaan dan kebebasan kehidupan seniman.

Ketika negara telah membunuh kemerdekaan kebebasan berekspresi, sejatinya negara juga telah melanggar hak asasi manusia.

Seharusnya, jika ada penilaian sebuah karya seni maka biarkan itu menjadi ranah publik, sebuah critical of art, yang tidak memiliki kaitan dengan kuasa pembredelan.

Yos Suprapto

Jika negara masih berharap hadirnya berbagai ragam karya seni yang berkualitas maka negara harus memberi porsi pembebasan berekspresi secara luas bagi para pekerja seni.

Mestinya dalam sistem politik demokrasi, negara itu hanya berwenang memastikan terselenggaranya kegiatan seni,, kemudian negara bisa menjamin terpenuhinya hak kebebasan berekspresi.

Bukan sebaliknya, justeru aparatur pemerintah seakan menjadi “polisi’, bahkan bertugas mirip ‘reserse‘ yang selalu mengontrol gerak gerik ekspresi pekerja seni.

Nampaknya ada yang salah dalam membingkai relasi negara dengan karya seni. Karena jika kita lihat, negara (baca: penguasa) memiliki keinginan mengendalikan seluruh kreatifitas sesuai dengan seleranya.

Penguasa seakan takut dengan ide kritis karya seni. Ketakutan itu diduga menyangkut perihal politik kebebasan ekspresi yang akan dapat membongkar tabir kepalsuan para penguasa itu sendiri.

Padahal ada etika yang melekat bagi para seniman dengan seluruh karya seninya, soal kejujuran. Para seniman akan menggunakan bahasa kejujuran dalam membuat karya seni.

Khususnya seni lukis, yang secara subyektif berupaya menggambarkan keadaan nyata melalui berbagai goresan dalam kanvas yang ada.

Jika kita baca melalui struktur proses yang berlangsung, maka hasil sebuah karya lukis itu merupakan internalisasi subyektif terhadap bacaan realitas yang ada. Melihat batasan fokus yang ada, pada akhirnya kita tidak bisa memaksa menilai lukisan itu dari sudut pandang kebenaran subyektif yang lain. Karena pada dasarnya sifat lukisan itu memang sangat segmentatif.

Meski demikian bukan berarti lokalitas persepsi subyektif yang ada dalam karya lukis itu terbatas. Karena subyektifitas dalam karya lukis akan selalu terpaut dengan objektifitas nilai universal.

Lukisan Yos Suprapto

Sejatinya lukisan itu karya seni, yang secara ideologis seni adalah untuk seni, seni tidak membutuhkan penilaian dan atribut salah, benar, baik dan buruk, melainkan membutuhkan interpretasi dan analisis multi perspektif.

Untuk membaca polemik penilaian karya lukis Yos Suprapto sekarang ini bisa kita tarik dari metafora klasik,”Ada seorang tunanetra ketika disuruh menggambarkan realitas gajah. Kemudian diantara mereka meraba pada sisi yang berbeda, maka hasil pendefinisian objek gajah itu pun berbeda.”

Penggambaran itu persis ketika kita mengamati karya lukis. Kita tidak punya otoritas memberi penilaian salah, benar, baik dan buruk, apalagi kemudian menghakimi menggunakan norma sosial dan politik.

Maka dalam konteks pelarangan pameran lukisan Yos Suprapto itu kontradiktif, kita patut curiga dengan sikap kurator, Soewarno Wisetratomo, dan Menteri Kebudayaan, Fadly Zon.

Kami menduga pelarangan itu ada relasi dengan kepentingan politik kekuasaan. Apalagi keduanya juga sudah menilai lukisan itu dengan menggunakan diksi bahasa politik.

Bisa kita pastikan pembredelan itu karena terkait dengan lima lukisan Yos Suprapto yang memiliki tautan kritik tajam terhadap personifikasi Jokowi.

Yos Suprapto

Ada lukisan berjudul ‘2019‘ yang bergambar hampir mirip dengan Jokowi yang menggiring sekor sapi merah ke istana. Ada judul ‘Konoha‘ yang menggambarkan sosok raja yang menginjak rakyatnya. Ada juga judul ‘Niscaya‘ yang mengekspresikan seorang petani memberi makan konglomerat.

Bagi rezim yang berkuasa saat ini, Presiden Prabowo, memiliki perasaan ewuh pakewuh, tidak enak jika membiarkan pameran yang mengkritik borok kekuasaan Jokowi

Apalagi Prabowo, Jokowi, Gibran serta para elit yang lain saat ini sedang bermesraan membagi kue kekuasaan.

Pedasnya lagi, konteks lima karya lukis Yos Suprapto merupakan ekspresi penegasan negatif eksistensi Jokowi.

Apapun alasannya, pembredelan pameran lukisan Yos Suprapto menjadi preseden kematian demokrasi serta hadirnya kembali kekuasaan otoriter.

Kilas balik pembredelan ini mengingatkan pada tragedi politik pemenjaraan penguasa orde baru terhadap pelukis Djoko Pekik dan juga Hendra Gunawan.

Yos Suprapto memang tidak dipenjara secara fisik, berbeda dengan Djoko Pekik dan Hendra Gunawan, tapi bagi seorang pelukis, pekerja seni, pembredelan karya seni menjadi tragedi pemenjaraan dan pembunuhan kebebasan berekspresi.(SC)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *