
Jakarta, Swa News – Penundaan pameran tunggal seniman Yos Suprapto di Galeri Nasional memicu kontroversi besar di dunia seni Indonesia.
Beberapa karya seni yang direncanakan ditampilkan disebut mendapat tekanan untuk disensor atau diturunkan. Langkah ini memunculkan kritik tajam terhadap pemerintah, yang dinilai gagal melindungi kebebasan berekspresi.
Pameran bertajuk “Refleksi Wajah Bangsa” sedianya akan berlangsung pada 19 Desember 2024. Namun, beberapa hari sebelum pembukaan, pihak Galeri Nasional meminta Yos Suprapto untuk menyensor sejumlah karyanya yang dianggap “terlalu kontroversial.”
Hal ini kemudian memicu kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, untuk mengundurkan diri karena perbedaan pandangan.
Menanggapi tekanan tersebut, Yos Suprapto mengambil keputusan tegas. Ia menarik seluruh karyanya dari galeri dan membatalkan pameran tersebut.
Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa ada kekhawatiran dari pihak tertentu terhadap narasi yang ia sampaikan melalui lukisannya, yang banyak mengangkat kritik sosial dan politik.
Reaksi Publik dan Tokoh Nasional
Kasus ini menjadi sorotan publik dan menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie menegaskan bahwa pembredelan seni adalah ancaman serius terhadap demokrasi.
“Jika kebebasan berekspresi terus ditekan seperti ini, Indonesia perlahan akan kehilangan identitas budayanya. Ini lebih dari sekadar seni; ini adalah cerminan dari peradaban bangsa,” ujar Connie dalam sebuah wawancara.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon, meskipun menegaskan bahwa kurator memiliki otoritas penuh atas keputusan pameran, dikritik karena dianggap tidak cukup melindungi ruang seni dari tekanan eksternal.
Apakah Pemerintah Berperan?
Kritik juga diarahkan pada pemerintah, yang dinilai kurang tegas dalam menjamin kebebasan berekspresi di ranah seni. Meskipun Menteri Kebudayaan menyatakan bahwa pemerintah tidak melakukan intervensi, banyak pihak meragukan klaim tersebut.
“Ini bukan pertama kalinya karya seni dibredel dengan alasan yang tidak jelas. Ketakutan terhadap kritik sosial dan politik justru mencerminkan lemahnya demokrasi kita,” ungkap seorang aktivis budaya.
Kebebasan Ekspresi yang Terancam
Kasus ini mencerminkan dilema yang sering terjadi di Indonesia. Di satu sisi, seni diakui sebagai medium penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Namun, di sisi lain, sensor dan tekanan politik kerap membatasi ruang gerak seniman.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas untuk melindungi kebebasan berekspresi, hal ini bisa memperburuk citra Indonesia sebagai negara demokratis.
Kasus Yos Suprapto menjadi contoh nyata bagaimana ruang ekspresi seniman terus terancam.
Penundaan pameran Yos Suprapto bukan hanya soal seni, melainkan gambaran nyata tentang kondisi demokrasi di Indonesia. Pemerintah perlu introspeksi dan memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar terlindungi dalam praktiknya.
Jika tidak, peradaban seni Indonesia akan semakin kehilangan kebebasannya, dan demokrasi yang diperjuangkan sejak reformasi hanya menjadi cerita usang. (VM)