Malang, Swa News — Prof. Uril Bahrudin mengawali perbincangannya dengan mengangkat wacana mengenai posisi pemimpin perguruan tinggi Islam di era post-truth. Tema ini mencuat merespons pernyataan Menteri Agama, Prof. Dr. Nasarudin Umar, saat melantik para rektor perguruan tinggi negeri di bawah naungan Kementerian Agama pada 26 Mei 2025.
Foto: kemenag.go.id
Era post-truth
Menurut Prof. Uril, problem dialektika pemikiran yang memunculkan beragam bentuk kebudayaan sebagai akibat dari revolusi industri, teknologi, dan ilmu pengetahuan telah melahirkan tantangan baru dalam tata kelola perguruan tinggi Islam negeri.
“Tantangan perubahan adalah keniscayaan sejarah. Dalam doktrin teologi Islam pun telah tersirat hukum perubahan yang melekat pada seluruh fase perjalanan kehidupan alam semesta ini,” jelasnya.
Foto: kemenag.go.id
Dalam perbincangan itu, kami menanyakan pandangannya mengenai profil rektor masa depan. “Menurut Prof. Uril, apa syarat mendasar untuk menjadi Rektor UIN Maliki Malang ke depan?”
Baca juga: Prof Uril Bahrudin Dinilai Layak Perkuat Kerjasama UIN Maliki dengan Saudi Fund for Development
Era post-truth
Ia menjawab bahwa rektor ideal harus memiliki kompetensi yang mencakup aspek personal, komparatif, dan kolaboratif. “Secara personal, seorang rektor mesti memiliki budi pekerti luhur, semangat kepemimpinan inklusif, sikap persuasif, serta toleransi tinggi terhadap perbedaan. Selain itu, ia harus berpikiran besar dan memiliki visi yang sistemik serta progresif,” paparnya.
Prof. Uril menekankan bahwa Islam memiliki sejarah sebagai kekuatan revolusioner yang membawa peradaban melalui ilmu pengetahuan. Karena itu, perguruan tinggi Islam negeri seharusnya mampu kembali menjadi pusat produksi ilmu pengetahuan yang menghadirkan peradaban humanis, menjaga keseimbangan alam, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.
Namun, ia juga mengakui bahwa sejarah itu sempat tenggelam akibat hegemoni politik Barat dan fase kolonialisme yang mengikis peran dunia Islam. Selain itu, ia menyoroti stagnasi kalangan intelektual Muslim yang gagal mengembangkan ilmu dan teknologi.
Prof. Uril mengutip tokoh besar, Syakib Arsalan, dengan pertanyaan klasiknya yang menggugah: Limadza Ta’akhkharal Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghoiruhum? (Mengapa umat Islam tertinggal, sementara yang lain maju?).
Menurutnya, dunia perguruan tinggi saat ini belum mampu mengembalikan kejayaan masa lalu maupun membangun narasi baru peradaban masa depan.
Ia kemudian menyebut Max Weber dan bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, yang menjelaskan hubungan antara etika Protestan — khususnya Calvinisme — dengan semangat kapitalisme modern.
“Meskipun masih diperdebatkan dan dianggap sebagai bentuk apologi oleh sebagian pihak, teori Weber tetap menarik. Terlepas dari itu, Islam juga memiliki modal besar untuk membangun peradaban unggul — berupa warisan sejarah, doktrin teologis yang kuat, kekuatan politik strategis, serta sumber daya manusia yang melimpah,” ujarnya.
Di akhir diskusi, Prof. Uril menegaskan bahwa deskripsi teologis, historis, filosofis, antropologis, dan sosiologis yang ia sampaikan merupakan potret kompleksitas yang membutuhkan pendekatan multiperspektif dalam menyusun strategi pengembangan perguruan tinggi Islam negeri sebagai agen perubahan peradaban melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Intinya, profil rektor masa depan UIN Maliki Malang adalah sosok yang memiliki kompetensi personal, komparatif, dan kolaboratif — yang terukur dan memadai berdasarkan pemikiran dan rekam jejak pengalaman,” pungkasnya. (Bram)
Pingback: Simposium Bahasa! "Bahasa Arab, Bahasa Pembebasan : 4 Konstruksi Peran Strategis Penggunaan Bahasa Arab Swa News