Malang, Swa News – Berbeda mekanisme pemilihan rektor antara perguruan tinggi negeri di bawah naungan Kementerian Agama dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
Sesuai peraturan yang berlaku, proses pemilihan rektor perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Agama, proses keterpilihannya akan sangat tergantung dengan keputusan Menteri Agama. Sementara otoritas perguruan tinggi yang memiliki kepentingan langsung hanya punya kewenangan membentuk panitia penjaringan yang bertugas menerima pendaftaran dan memverifikasi kelengkapan administrasi para bakal calon.
Selanjutnya, berkas akan dikirim ke senat universitas. Tapi senat kewenangannya hanya memberikan penilaian kualitatif terhadap setiap calon. Kemudian senat menyerahkan pada rektor. Lantas, rektor mengirimkan pada Menteri Agama.
Secara teknis, untuk mendapatkan gambaran penilaian terhadap kapasitas, kredibilitas, dan integritas para calon, kemudian Menteri Agama membentuk Panitia Seleksi (Pansel). Setelahnya, Panitia Seleksi akan menyerahkan kembali hasil review pada Menteri Agama untuk menjadi dasar keputusan.
Melihat alur perjalanan proses yang ada memberikan gambaran, jika sistem yang berlangsung dalam menentukan rektor definitif itu menjadi otoritas Menteri Agama.
Konteks membicarakan otoritas Pansel, koresponden Swa News sempat meminta penjelasan pada salah satu mantan anggota panitia seleksi. Dia menjelaskan, bahwa tugas Pansel itu memang untuk membuat penilaian yang hasilnya nanti akan diserahkan pada Menteri Agama untuk menjadi dasar dalam membuat keputusan, “jadi ujungnya Menteri Agama yang punya kewenangan, Pansel hanya sekadar membantu memberikan review profil setiap calon yang ada,” jelasnya.
Upaya reporter Swa News mendekati berhasil, ketika mendeteksi opini, dan persepsi publik UIN Maliki Malang dengan menggunakan pendekatan segmentasi basis sosial budaya kuning dan hijau dalam rangka untuk mengerucutkan bakal calon populer, banyak dibicarakan, serta memiliki peluang masuk 3 besar.
Dari 12 nama bakal calon yang telah ditetapkan panitia penjaringan, Poros Kuning memiliki 6 nama bakal calon, antara lain Abdul Karim Amrullah, Agus Maimun, Umi Sumbullah, Ilfi Nurdiana, Muhammad Samsul Ulum, dan Fauzan Zenrief. Sedangkan Poros Hijau ada Uril Bahrudin, Suhartono, Triyo Suprianto, dan Barizi.
Ada juga 2 nama yang kehadirannya dikategorikan masuk Poros Independen, Sri Harini dan Saefullah. Namun, banyak pihak yang mengidentifikasi kedua bakal calon independen itu memiliki ‘kedekatan’ dengan Poros Hijau.
Setelah Tim Swa News melakukan perekaman dan tabulasi persepsi melalui berbagai obrolan, pantauan perbincangan, baik formal maupun informal, yang secara spesifik bermuara pada pendekatan segmentatif dalam relasi 2 poros.
Hasilnya, pada kluster Poros Kuning merepresentasikan keunggulan nama Agus Maimun dan Ilfi Nurdiana. Sementara kluster Poros Hijau banyak memperbincangkan nama Suhartono dan Uril Bahrudin.
Namun, jika dibuat parameter perbandingan frekuensi pembahasan antar bakal calon, selisihnya sangat tipis dan tidak signifikan. Misal, selisih Suhartono dan Uril Bahrudin, maupun Agus Maimun dengan Ilfi Nurdiana hanya terpaut sekitar 1 persen. Berbeda dengan nama calon yang posisinya berada di bawahnya lagi memang perbandingan selisihnya sangat signifikan.
Baca juga: Halal Bihalal Wakil Menteri Agama, Romo H.R. Muhammad Syafii, Bersama Keluarga Besar HMI
Memang pemetaan itu memiliki bias pengaruh struktural organisasi kemasyarakatan. Akan tetapi, ada banyak hal obrolan yang juga membicarakan di luar segmen calon mainstream tersebut.
Muncul obrolan calon alternatif, kekuatan kuda hitam. Menariknya, ketika mereka membicarakan kuda hitam, banyak yang mengunggulkan nama Sri Harini dan Abdul Malik Karim Amrullah.
Menurut catatan redaksi Swa News, potret perbincangan tersebut menggambarkan dinamika politik demokrasi pemilihan rektor saat ini yang semakin progresif pada level lokal kampus. Namun, apakah hasil perbincangan demokratis yang masif ini akan mampu memengaruhi keputusan pada tingkat elit birokrasi kementerian dan Menteri Agama?
Karena, sesuai aturan yang berlaku, penentuan keterpilihan rektor merupakan privilese Menteri Agama. Selama ini muncul isu negatif dalam proses keputusan sentralistik yang selama ini berlangsung.
Benarkah soal isu, konon katanya keterpilihan seorang calon rektor itu akan sangat tergantung pada kuatnya jejaring elit organisasi, politik, transaksional, serta kekuatan modal uang yang beredar? (Kim)