Opini, Swa News– Drama “Gus” Miftah belum selesai, masih banyak gorengan. Ada yg mengkritik, menyerang dan membela.
Apa sih arti seorang “Gus” Miftah? Dia punya eksistensi. Eksistensi mikro kosmos, bukan makro kosmos, apalagi meta kosmos.
Dia punya silsilah, siapa pun itu. Karena hukum sejarah, hukum alam, sistem pewarisan kekerabatan.
Apakah “Gus” Miftah akan meletakkan eksistensinya itu pada nama, silsilah, pikiran, atau perilakunya?
Nampaknya itu problem komplek yang saat ini dialami “Gus” Miftah. Dia sedang mencoba membingkai sistem personal untuk menjawab kebutuhan eksistensi diri dalam sosial industri.
Kebetulan lingkungan sosial industri yang makro saat ini sedang membangun kohesivitas (ketertarikan, red) dengan agama.
Itu lah posisi “Gus” Miftah. Menempatkan lingkaran Sosial industri menjadi panggung. Membuat putaran simbiosis mutualisme.
Kemudian “Gus” Miftah berhasil menaklukan semua elemen sosial industri melalui simbol personifikasi.
Melalui panggung industri entertain agama, “Gus” Miftah berhasil menarik jejaring sosial yang luas. Mulai para pekerja hiburan malam, pejabat tinggi, aparatur negara, pengusaha, politisi, hingga artis.
Kenapa magnet “Gus” Miftah begitu kuat, bahkan memiliki jejaring dengan kepala negara?
Karena “Gus” Miftah sudah menjadi simbol penguasa industri entertain agama. Tentu suara “Gus” Miftah memiliki efek kuat membangun persepsi publik.
Karena bagaimanapun kerja branding “Gus” Miftah itu sudah berhasil menciptakan segmentasi pasar yang luas.
Itu lah “Gus” Miftah. Bisa jadi bukan ‘ulama, bukan kyai, apalagi wali.
Posisi “Gus” Miftah itu hanya sub ordinat mikro kosmos dari keseluruhan struktur sosial dan alam raya (makro kosmos, red).
Kalau kemudian ada yang menggiring opini membangun persepsi “Gus” Miftah punya karomah, mengangkat derajat penjual es teh itu hanya upaya normalisasi dan justifikasi. Padahal itu permainan logika untuk memanipulasi keadaan.
Bisa saja sebaliknya! Jangan-jangan karena doa kaum tertindas yang selama ini teraniaya hinaan “Gus” Miftah, kemudian kuasa tuhan meminjam penjual es teh membuka tabir perilaku itu?
Lantas, Apakah dia seorang gus? Itu tidak penting! Apalah arti sebuah gelar? Kita pernah diingatkan Wiliam Shakespeare, what’s on a name? Whatever the name of the rose, will still smell good. Apa arti sebuah nama (gelar), karena apa saja kau beri nama pada mawar, tetap akan harum.
Untuk mengakhiri percakapan eksistensi, saya ingat perkataan sang maha guru eksistensialis, Rene Descartes, “manusia itu ada karen berfikir, cogito ergo sum”.
Soal eksistensialis, saya juga ingat perkataan sang pawang filsafat moral Imanuel Kant, “kepemilikan individu pada moral universal yang tidak pernah melambangkan perilaku kontradiksi.” (SC).