Swa News

Dibalik Kaca Mobil

Pagi itu, dibalik kaca mobil ku tatap jalanan kota kecil ini sibuk seperti biasa. Pedagang kaki lima mulai menjajakan dagangan, dan motor berlalu-lalang tanpa henti. Order dari aplikasi Jalak Express masuk. Titik jemput di depan warung “Bu Reni”, destinasi: Pengadilan Negeri.

Dibalik Kaca Mobil

Si Agya putih yang setia menemani, berhenti di depan warung itu. Dua perempuan berdiri di sana. Yang satu, seorang ibu sekitar 50-an, wajahnya keras, suaranya lantang. Yang lain, perempuan muda mungkin seusia denganku, 24 tahun, dengan bekas lebam di pipi dan tangannya. Matanya terlihat gelisah, seperti menyimpan cerita panjang yang tak terucapkan.

 

“JalEx atas nama Yeni, Mas (Red.panggilan kakak bhs.Jawa) ?” tanya si ibu dengan nada ketus.

 

“Iya, Bu. Monggo masuk.”

 

Si ibu duduk di belakangku, sementara perempuan muda itu di sampingnya, memeluk map biru erat-erat. Hening menyelimuti perjalanan selama beberapa menit.

 

Mas, nek ketok ATM, mampir sek ya. Arep njupuk duit gawe bayar urusan nang pengadilan,” ujar si ibu tiba-tiba, nadanya tak memberi ruang untuk penolakan.

(Kak, kalau ada ATM mampir dulu sebentar. Mau ambil uang untuk pembayaran urusan di pengadilan).

 

“Maaf, Bu, dari aturan pusat nggak boleh mampir-mampir di luar rute,” jawabku hati-hati.

 

“Wis, ndak apa-apa. Aku tambahi duit e,” balasnya dengan nada tegas.

(Sudah, tidak apa-apa, akanku tambah ongkosnya)

 

Aku menghela napas, menyerah pada situasi. “Ya udah, Bu. Tapi nggak bisa lama ya.”

 

Mobil berhenti di depan ATM kecil. Si ibu turun dengan langkah cepat, sementara aku dan perempuan muda itu tetap di mobil.

 

“Maaf ya, Mas. Ibu saya memang begitu,” ujar perempuan muda itu pelan, suaranya hampir bergetar.

 

“Yo nggak papa, Mbak. Wong sabar kan rezekine akeh,” jawabku sambil tersenyum kecil.

(Ya nggak apa-apa, Kak. Orang sabar rezekinya banyak)

 

Dia balas tersenyum, tapi matanya tetap terlihat lelah. Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Aku mulai gelisah.

 

“Lama banget ya, Mbak,” gumamku mencoba mencairkan suasana sambil memandang dibalik kaca mobil.

 

Dia mengangguk pelan. “Iya, ibu suka lama kalau di ATM.”

 

Akhirnya si ibu kembali dengan wajah masam. “Antrine suwe tenan! Wong kok podo njupuk duit kabeh.” (Antriannya benar-benar lama. Semua Orang kok pada ambil uang)

 

“Sampun, Bu. Lanjut ya,” balasku sambil melajukan mobil.

(Sudah bu, lanjut ya)

 

Namun, perjalanan baru beberapa menit, si ibu kembali berseru. “Mas, lek enek indoapril mampir sek. Tak tuku ngombe.” (Kak, Kalau ada Indoapril mampir dulu ya, aku mau beli minuman)

 

“Lho, Bu. Tadi kan sudah berhenti di ATM. Nek terus berhenti begini, perjalanan jadi molor,” ujarku, mencoba berargumen.

(Bu, tadi sudah berhenti di ATM. Kalau teru berhenti begini, perjalanan jadi terlambat)

 

“Wis talah, tak tambahi duit meneh. Cepet saiki,” katanya dengan nada memerintah.

(Sudahlah, nanti ku tambahin lagi uangnya. Cepat sekarang)

 

Aku tak punya pilihan. Mobil berhenti lagi di Indoapril. Kali ini, lebih lama dari sebelumnya. Aku menatap spion dibalik kaca mobil, mencoba membaca suasana. Si perempuan muda hanya diam, memandangi map birunya dengan wajah muram.

 

Saat si ibu kembali, tangannya penuh plastik belanjaan. “Ora mung ngombe, tak tambahi cemilan. iso lemes aku nek nggak mangan,” katanya tanpa rasa bersalah.

(Tidak hanya minuman, aku nambah camilan. Aku bisa lemas kalau tidak makan)

 

Aku menarik napas panjang. “Yo wes, Bu. Lanjut maneh.” (ya sudah, bu. Mari lanjut lagi)

 

Namun belum jauh dari minimarket, si ibu kembali memberi perintah. “Mas, mas, mampir fotokopi sek. Dokumen e onok sing kurang.” (Kak, kak, mampir di fotokopi dulu. Dokumennya ada yang kurang)

 

“Bu, iki wes (ini sudah) ketiga kalinya kita berhenti. Kalau begini terus, saya rugi. Aturan ojol kan ndak boleh berhenti sembarangan,” jawabku, mencoba tetap tenang.

 

“Tak tambahi double duitmu! Tak bayar kabeh, sing tenang a mas! ” katanya sambil menantang dengan tatapan tajam. (Akanku tambah dua kali lipat uangmu! Aku bayar semua, yang tenang gitu lho mas!)

 

Aku menahan napas. “Yo wis, Bu. Tapi terakhir ya.” (ya sudah, bu. Tapi terakhir ya)

 

Mobil berhenti lagi. Kali ini, ketegangan mulai terasa memuncak. Sementara si ibu turun untuk fotokopi, aku mendengar perempuan muda itu berbisik pelan.

 

“Mas, maaf ya. Urusan kami memang ribet.”

 

“Ndak papa, Mbak. Tapi kok kelihatannya sampeyan capek banget?” tanyaku, penasaran.

(Tidak apa-apa, kak. Tapi kamu kok terlihat capek sekali?)

 

Dia hanya menggeleng kecil. “Ya begini, Mas. Saya nggak tahu bakal jadi serumit ini.”

 

Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, si ibu kembali dengan dokumen di tangannya. Dia masuk mobil dengan wajah lebih masam dari sebelumnya.

 

“Koen iki lho, Yen. Nek koen manut aku waktu iku, ndak perlu sampe ngurus cerai begini!” bentaknya, memulai debat.

(Kamu itu, yen. Kalau kamu mengikuti saranku waktu itu, tidak perlu sampai mengurus cerai begini!)

Lho, Ibu iki kok malah nyalahno aku terus? (Ibu ini kok terus-menerus menyalahkanku) pikirku dia bakal berubah, Bu. Aku nggak tahu kalau dia bisa separah itu,” jawab perempuan muda itu, suaranya bergetar menahan emosi.

 

“Trus yo opo? Saiki koen diantemi sampe koyok ngene. Bojomu iku ndak becus! Wong aku wis ngomong, tapi koen tetep ngotot!” (terus bagaimana? Sekarang kamu dipukulin sampai seperti ini. Suamimu itu tidak becus. Padahal aku sudah bilang, tapi kamu tetap ngotot)

 

“Bu, cukup. Aku sudah capek,” kata perempuan itu dengan suara lirih.

 

Aku merasa seperti mediator tak resmi di tengah ruang sidang. “Bu, Mbak, ojo ribut terus. Nek perjalanan rame terus, saya ikut stres, lho,” ujarku mencoba mencairkan suasana. (Bu, kak, jangan ribut terus. Kalau diperjalanan ribut terus, saya ikutan stress)

 

Si perempuan muda tertawa kecil, tapi si ibu hanya mendengus kesal.

 

Akhirnya, kami sampai di depan Pengadilan Negeri. Si ibu turun lebih dulu, membawa plastik belanjaan dan dokumen. Perempuan muda itu berhenti sejenak di dekat pintu mobil, menatapku.

 

“Matur nuwun, Mas. Wong sabar pancen rezekine akeh,” katanya sambil tersenyum kecil. (Terima kasih, Kak. Orang sabar memang rezekinya banyak)

 

Aku balas tersenyum. “Sami-sami, Mbak. Semoga urusannya lancar.” (sama-sama, kak. Semoga urusannya lancar)

dibalik kaca mobil

Saat mereka berjalan menuju gedung pengadilan, aku duduk sejenak, menatapnya dibalik kaca mobil. Atmosfer didalam mobil yang tadi penuh debat sekarang terasa kosong, tapi aku menyadari satu hal: setiap perjalanan punya ceritanya sendiri. Kadang-kadang, kita hanya menjadi penonton dari drama yang dipentaskan di kursi belakang.

Aku menarik napas panjang, menyalakan mesin, dan melanjutkan perjalanan.

Dibalik kaca mobil


Cerpen Dibalik Kaca Mobil

Oleh

Mukh Munif

Cerpenis Swa News

Exit mobile version