Ada yang urgen untuk dibahas ulang seputar anomali hasil Pemilihan Gubernur Jawa Timur.
Ini bukan soal siapa yang menang atau kalah. Tapi menyangkut prinsip demokrasi yang jujur, bebas, rahasia dan adil.
Dalam proses Pemilu dengan seluruh ragam tingkatannya memang kadangkala menyisakan keanehan, kerancuan dan kejanggalan.
Tapi kebanyakan tingkat anomali itu relatif. Terkadang ada sebagian dalam ambang batas toleran, tapi ada juga yang ekstrim.
Kelihatannya desas-desus problem anomali juga menyeruak dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 2024 kemarin. Bahkan ada yang menila masuk kategori ekstrim
Katanya ada indikasi kecurangan masif, karena perolehan suara salah satu pasangan yang dinilai aneh, nihil.
Ini bermula ketika pasangan Risma-Gus Hans, memperoleh suara nol, kosong, yang tersebar di 3.637 Tempat Pemungutan Suara ( TPS).
Kemudian publik banyak yang bertanya, kok bisa? Itu masalahnya. Kenapa kok bisa? Mungkin kalau dalam sistem noken, misal di Papua, itu biasa saja terjadi. Tapi ini kejadian di Jawa Timur tidak ada sistem noken nya.
Maka wajar ketika ada yang mengatakan nasib yang menimpa pada pasangan Risma-Gus Hans itu merupakan anomali ekstrim.
Karena secara nalar, bagaimana mungkin ada pasangan calon kemudian tidak mendapatkan suara sama sekali? Apalagi tersebar di 3.637 TPS.
Apakah kemungkinan anomali tersebut masuk ranah kecurangan? Atau itu memang realitas objektif perolehan suara yang ada?
Memang tidak mudah untuk bisa membuktikan adanya modus operandi kecurangan politik Pemilu. Tapi bukan berarti tidak ada instrumen untuk bisa memahami anomali politik yang ada.
Kita bisa menyusun asumsi dan argumentasi menggunakan jalan pikiran yang logis. Karena problem yang ada itu bisa kita baca dan analisis melalui teori, data empiris, perilaku sosial pemilih, serta orientasi politik ‘penguasa’ yang secara hirarkis memiliki pengaruh dalam dinamika elektoral. Kemudian kita bisa menarik semua relasi itu dalam sebuah hipotesa.
Karena bagaimanapun jika proses alamiah, meski menggunakan alasan ideologis yang ketat, kok rasanya tidak mungkin ada pasangan calon yang secara masif tidak dapat suara sama sekali.
Tapi jika ada pertanyaan relasi sebab akibat, apa kemungkinan anomali seperti itu bisa terjadi? Maka semua itu bisa terjadi jika ada proses pengkondisian, koordinasi, konsolidasi serta mobilisasi.
Lantas siapa yang bisa bisa melakukan kerja itu semua ditengah regulasi pelaksanaan dan pengawasan yang mestinya ketat dan melekat?
Kita tidak bisa menuduh, ada siapa dibalik semua itu. Tapi kita bisa membuat analisis, jika memang itu terjadi, maka pertanyaannya siapa sih sebenarnya yang bisa mengendalikan semua permainan itu?
Pasti pihak yang punya akses luas, memiliki kekuasaan serta punya sumberdaya daya besar.
Lantas siapa itu? Jika kita petakan, pihak yang patut diduga memilki kekuasaan untuk memainkan semua proses pemilihan itu. Pertama, pihak penyelenggara Pemilu. Bisa melalui berbagai cara. Kedua, keterlibatan aparat dan instrumen negara.
Karena hanya bagan struktur itu yang memiliki kapasitas besar untuk dapat mempengaruhi proses politik secara masif dan sistemik.
Tapi seyogyanya secara struktural ketika publik mempersoalkan perolehan suara nol persen, maka seharusnya mendapatkan penjelasan detil dari semua pihak yang punya kepentingan serta kewenangan sehingga mampu memberikan gambaran faktual dan logis.
Untuk mendapatkan penjelasan sistemik, faktual dan logis, maka penggugatan melalui Mahkamah Konstitusi merupakan jalan yang benar.
Karena gugatan ini bukan soal kalah dan menang, tapi juga menguji kerangka berfikir logis terkait realitas politik yang ada. Nampaknya kita harus menunggu penjelasan semua ini di forum Mahkamah Konstitusi.(SC)